KUMPULAN TUGAS UAS JURNALISTIK
Nama : Dwi Rista Novailah
Jurusan/ NIM : PAI/08110153
Kelas : F
Matakuliah: Pendidikan
Jurnalistik
Review Materi
Jurnalistik tanggal 25 Oktober 2011
Jurnalistik
Dalam
hal ini ada beberapa macam penjelasan
yang telah kami dapatkan dalam satu pertemuan mata kuliah jurnalistik yang dibimbing oleh bapak Khoirul Anwar, dan salah
satu teman kami yang mencoba bertanya
mengenai hal terkait dengan penjelasan sebelumnya. Di bawah ini ada satu brain storming
dari salah satu teman kami:
Kasus:
pewawancara yang secara langsung memotong pembicaraaan? Boleh atau tidak?!
Memotong
pembicaraan dalam dunia jurnalistik tidak diperbolehkan, karena bisa saja
kalimat yang dipotong merupakan kalimat inti dari pokok permasalahan yang
disampaikan. Boleh dipotong apabila pembicaraaan itu tidak sesuai dengan
substansi yang akan dibahas/ narasumber terlalu mengungkapkan kalimat yang
seharusnya tidak usah dilontarkan sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan
oleh pewawancara.
Harus
diperhatikan pula jangan sampai pewawancara dikendalikan oleh narasumber.
Dan
apa yang telah kami pahami bersama bahwa ada penegasan istilah yang harus kita
pahami ketika mengikuti mata kuliah ini, dibawah ini ada beberapa istilah yang
sempat diajukan oleh bapak Khoirul Anwar sebagai brain storming dari apa
yang kami ketahui selama ini.
Istilah
Berita adalah: adalah
informasi baru atau informasi mengenai sesuatu yang sedang terjadi, disajikan
lewat bentuk cetak, siaran, internet,
atau dari mulut ke mulut kepada orang ketiga atau orang banyak sehingga orang
lain menjadi tahu informasi tersebut. Pada konteks media cetak, berita
dapat diartikan sebagai rekonstruksi dari fakta yang penting dan menarik bagi
pembaca yang disebarluaskan melalui media massa dalam bentuk tulisan dengan
berbagai kelengkapan penyajiannya.
Media adalah: sarana secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas
Koran adalah: Koran
(dari bahasa Belanda: Krant, dari bahasa Perancis
courant) atau surat kabar adalah suatu penerbitan yang ringan dan mudah
dibuang, biasanya dicetak pada kertas berbiaya rendah yang disebut kertas koran, yang berisi berita-berita terkini dalam berbagai
topik. Berita dalam Koran biasanya di buat secara
Boombastis agar dapat menarik perhatian para pembaca yang disampaikan lewat
Koran tersebut. Di dalam koran itu memiliki penyajian dalam sudut pandang yang
berbeda antara tampilan depan dan belakang koran. Untuk itu, sebuah berita harus memuat "fakta" yang di
dalamnya terkandung unsur-unsur 5W + 1H:
- Who - siapa yang terlibat di dalamnya?
- What - apa yang terjadi di dalam suatu peristiwa?
- WHERE - di mana terjadinya peristiwa itu?
- Why - mengapa peristiwa itu terjadi?
- When - kapan terjadinya?
- How - bagaimana terjadinya?
Tidak hanya sebatas berita, bentuk jurnalistik lain,
khususnya dalam media cetak, adalah berupa opini. Bentuk opini ini dapat berupa
tajuk rencana (editorial), artikel opini atau kolom (column), pojok dan surat
pembaca.
Dalam
penjelasan yang telah diutarakan dalam mata kuliah jurnalistik yang telah
dijelaskan oleh bapak Khoirul Anwar memberikan gambaran secara jelas mengenai
perkembangan jurnalistik baik berupa pengertian berita, sifat dan bentuk-
bentuk macam- macam media yang telah ada di Indonesia.
Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang
memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi
yang mapan dan diterima secara universal. Mary Parker Follet, misalnya
mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang
lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan
mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Sementara itu, Ricky
W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai
sasaran (goals) secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat
dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang
ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal dalam
berbagai bidang seperti industri, pendidikan, kesehatan, bisnis, finansial dan
sebagainya. Dengan kata lain efektif menyangkut tujuan dan efisien menyangkut
cara dan lamanya suatu proses mencapai tujuan tersebut.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 553, 1990) menyebutkan, manajemen
adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mecapai sasaran.
Bagaimana
Menerapkan Kebijakan dan Strategi
- Semua kebijakan harus didiskusikan dengan semua personel manajerial dan staf.
- Manajer harus mengerti dimana dan bagaimana mereka menerapkannya.
- Rencana sebuah tindakan harus diberitahukan pada setiap departemen.
- Kebijakan dan strategi harus diperiksa ulang secara berkala.
- Perencanaan cadangan harus dipikirkan dalam kasus perubahan.
1.
Fungsi Manajemen
Manajemen beroperasi melalui bermacam fungsi, biasanya digolongkan pada
perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan atau motivasi dan pengaturan.
- Perencanaan: memutuskan apa yang harus terjadi esok hari dan seterusnya dan membuat rencana untuk dilaksanakan.
- Pengorganisasian: membuat penggunaan maksimal dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana dengan baik.
- Leading/Kepemimpinan dan Motivasi: memakai kemampuan di area ini untuk membuat yang lain mengambil peran dengan efektif dalam mencapai suatu rencana
- Pengendalian: monitoring – memantau kemajuan rencana, yang mungkin membutuhkan perubahan tergantung apa yang terjadi
2.
Tingkatan Manajemen Keredaksian
a. Pimpinan Redaksi
Merupakan manajemen tingkat atas. Bertugas merencanakan kegiatan dan
strategi keredaksian secara umum dan mengarahkan jalannya proses redaksi.
1) Middle management atau manajemen tingkat menengah bertugas sebagai
penghubung antara manajemen puncak dan manajemen lini pertama, misalnya Wakil
Pimpinan Redaksi atau Redaktur Pelaksana.
2) Lower management atau manejemen line pertama (first-line
management) adalah manajemen yang memimpin dan mengawasi tenaga-tenaga
operasional. Manajemen ini dikenal pula dengan istilah manajemen operasional.
Umumnya para redaktur halaman. Ada khusus halaman ekonomi, politik, pendidikan,
kriminal, hukum dst.
3.
Manajemen Mengandung Lima Fungsi:
a. Perencanaan
b. Pengorganisasian
c. Kepemimpinan
d. Koordinasi
e. pengaturan
4.
Manajemen Keredaksian
Manajemen keredaksian dapat diartikan proses antar orang yang merupakan
satu kesatuan secara efektif dalam sebuah organisasi media massa untuk mencapai
tujuan atau sasaran. Manajemen keredaksian adalah perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan,
kompensasi, integrasi dan pemeliharaan orang-orang dengan tujuan membantu
mencapai tujuan organisasi (pers), individual dan masyarakat. Paling penting
adalah bagaimana individu-individu yang terlibat dalam organisasi harus mampu
terlebih dahulu memanajemen pribadinya masing-masing. Manajemen pribadi
tersebut meliputi beberapa hal antara lain: perencanaan kegiatan,
pengorganisasian kegiatan, pelaksanaan kegiatan, evaluasi kegiatan dan
pengawasan kegiatan dengan pemanfaatan waktu seefektif dan seefisien mungkin.
Bila tiap individu di dalam organisasi menyadari betul akan posisi
masing-masing dengan job description (deskripsi tugas) yang jelas dan
tegas, maka perencanaan akan mudah dibangun dan diterapkan.
Ada dua bagian besar sebuah penerbitan pers atau media massa: Bagian
Redaksi (Editor Department) dan Bagian Pemasaran atau Bagian Usaha (Business
Department). Bagian Redaksi dipimpin oleh Pemimpin Redaksi. Bagian
Pemasaran dipimpin oleh Manajer Pemasaran atau Pemimpin Usaha. Di atas keduanya
adalah Pemimpin Umum (General Manager). Ada juga Pemimpin Umum yang
merangkap Pemimpin Redaksi.
Bagian
Redaksi tugasnya meliput, menyusun, menulis, atau menyajikan informasi berupa
berita, opini, atau feature. Orang-orangnya disebut wartawan. Redaksi merupakan
merupakan sisi ideal sebuah media atau penerbitan pers yang menjalankan visi,
misi, atau idealisme media. Bagian Redaksi dikepalai oleh seorang Pemimpin
Redaksi. Di bawah Pemred biasanya ada Wakil Pemred yang bertugas sebagai
pelaksana tugas dan penanggungjawab sehari-hari di bagian redaksi.
Pemred/Wapemred membawahi seorang atau lebih Redaktur Pelaksana yang mengkoordinasi
para Redaktur (Editor), Koordinator Reporter atau Koordinator Liputan (jika
diperlukan), para Reporter dan Fotografer, Koresponden, dan Kontributor.
Termasuk Kontributor adalah para penulis lepas (artikel) dan kolumnis. Di
Bagian Redaksi ada pula yang disebut Dewan Redaksi atau Penasihat Redaksi.
Biasanya terdiri dari Pemred, Wapemred, Redpel, Pemimpin Usaha, dan orang-orang
yang dipilih menjadi penasihat bidang keredaksian. Ada pula yang disebut Staf
Ahli atau Redaktur Ahli, yakni orang-orang yang memiliki keahlian di bidang
keilmuwan tertentu yang sewaktu-waktu masukan atau pendapatnya sangat
dibutuhkan redaksi untuk kepentingan pemberitaan atau analisis berita. Bagian
lain yang terkait dengan bidang keredaksian adalah Redaktur Pracetak yang
membidangi tugas Desain Grafis (Setting, Lay Out, dan Artistik) serta
Perpustakaan dan Dokumentasi. Dalam hal tertentu, bagian Penelitian dan
Pengembangan (Litbang) dapat masuk ke bagian Redaksi.
5.
Tugas
a.
Pemimpin Umum (General Manager)
Ia bertanggung jawab atas keseluruhan jalannya penerbitan pers, baik ke
dalam maupun keluar. Ia dapat melimpahkan pertanggungjawabannya terhadap hukum
kepada Pemimpin Redaksi sepanjang menyangkut isi penerbitan (redaksional) dan
kepada Pemimpin Usaha sepanjang menyangkut pengusahaan penerbitan.
1) Pemimpin Redaksi
Pemimpin Redaksi (Editor in Chief) bertanggung jawab terhadap mekanisme dan
aktivitas kerja keredaksian sehari-hari. Ia harus mengawasi isi seluruh rubrik
media massa yang dipimpinnya. Di surat kabar mana pun, Pemimpin Redaksi
menetapkan kebijakan dan mengawasi seluruh kegiatan redaksional. Ia bertindak
sebagai jenderal atau komandan yang perintah atau kebijakannya harus dipatuhi
bawahannya. Kewenangan itu dimiliki karena ia harus bertanggung jawab jika
pemberitaan medianya digugat pihak lain. Pemimpin Redaksi juga bertanggung
jawab atas penulisan dan isi Tajuk rencana (Editorial) yang merupakan opini
redaksi (Desk opinion). Jika Pemred berhalangan menulisnya, lazim pula tajuk
dibuat oleh Redaktur Pelaksana, salah seorang anggota Dewan Redaksi, salah
seorang Redaktur, bahkan seorang Reporter atau siapa pun dengan seizin dan
sepengetahuan Pemimpin Redaksi yang mampu menulisnya dengan menyuarakan
pendapat korannya mengenai suatu masalah aktual.
2) Dewan Redaksi
Dewan Redaksi biasanya beranggotakan Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan
Wakilnya, Redaktur Pelaksana, dan orang-orang yang dipandang kompeten menjadi
penasihat bagian redaksi. Dewan Redaksi bertugas memberi masukan kepada jajaran
redaksi dalam melaksanakan pekerjaan redaksional. Dewan Redaksi pula yang
mengatasi permasalahan penting redaksional, misalnya menyangkut berita yang
sangat sensitif atau sesuai-tidaknya berita yang dibuat tersebut dengan visi
dan misi penerbitan yang sudah disepakati.
b.
Redaktur Pelaksana
Di bawah Pemred biasanya ada Redaktur Pelaksana (Managing Editor).
Tanggung jawabnya hampir sama dengan Pemred/Wapemred, namun lebih bersifat
teknis. Dialah yang memimpin langsung aktivitas peliputan dan pembuatan berita
oleh para reporter dan editor
1)
Redaktur
Redaktur
(editor) sebuah penerbitan pers biasanya lebih dari satu. Tugas utamanya adalah
melakukan editing atau penyuntingan, yakni aktivitas penyeleksian dan perbaikan
naskah yang akan dimuat atau disiarkan. Di internal redaksi, mereka disebut
Redaktur Desk (Desk Editor), Redaktur Bidang, atau Redaktur Halaman karena
bertanggung jawab penuh atas isi rubrik tertentu dan editingnya. Seorang
redaktur biasanya menangani satu rubrik, misalnya rubrik ekonomi, luar negeri,
olahraga, dan sebagainya.
2)
Redaktur Pracetak
Setingkat
dengan Redaktur/Editor adalah Redaktur Pracetak atau Redaktur Artistik. Ia
bertanggung jawab menangani Naskah Siap Cetak (All In Hand/All Up) dari
para redaktur, yaitu semua naskah berita yang sudah diturunkan ke percetakan
dan sudah diset bersih, desain cover dan perwajahan (tata letak, lay out,
artistik), dan hal-ihwal sebelum koran dicetak. Bagian lain yang berada di
bawah koordinasi Redaktur Pracetak adalah Setter atau juru ketik naskah. Ia
bertugas mengetik naskah yang akan dimuat. Ada pula Korektor yang bertugas
mengoreksi (membetulkan) kesalahan ketik pada naskah yang siap cetak.
3)
Reporter
Di bawah
para editor adalah para Reporter. Mereka merupakan prajurit di bagian redaksi.
Mencari berita lalu membuat atau menyusunnya, merupakan tugas pokoknya.
4)
Fotografer
Fotografer
(wartawan foto atau juru potret) tugasnya mengambil gambar peristiwa atau objek
tertentu yang bernilai berita atau untuk melengkapi tulisan berita yang dibuat
wartawan tulis. Ia merupakan mitra kerja yang setaraf dengan wartawan tulisan
(reporter). Jika tugas wartawan tulis menghasilkan karya jurnalistik berupa
tulisan berita, opini, atau feature, maka fotografer menghasilkan Foto
Jurnalistik (Journalistic Photography, Photographic Communications). Fotografer
menyampaikan informasi atau pesan melalui gambar yang ia potret. Fungsi foto
jurnalistik antara lain menginformasikan (to inform), meyakinkan (to
persuade), dan menghibur (to entertain).
5)
Koresponden
Selain
reporter, media massa biasanya memiliki pula Koresponden (correspondent) atau
wartawan daerah, yaitu wartawan yang ditempatkan di negara lain atau di kota
lain (daerah), di luar wilayah di mana media massanya berpusat.
c.
Kontributor
Kontributur atau penyumbang naskah/tulisan secara struktural tidak
tercantum dalam struktur organisasi redaksi. Ia terlibat di bagian redaksi
secara fungsional. Termasuk kontributor adalah para penulis artikel, kolomnis,
dan karikaturis. Para sastrawan juga menjadi kontributor ketika mereka
mengirimkan karya sastranya (puisi, cerpen, esei) ke sebuah media massa.
Wartawan Lepas (Freelance Journalist) juga termasuk kontributor. Wartawan
Lepas adalah wartawan yang tidak terikat pada media massa tertentu, sehingga
bebas mengirimkan berita untuk dimuat di media mana saja, dan menerima
honorarium atas tulisannya yang dimuat. Termasuk kontributor adalah Wartawan
Pembantu (Stringer). Ia bekerja untuk sebuah perusahaan pers, namun
tidak menjadi karyawan tetap perusahaan tersebut. Ia menerima honorarium atas
tulisan yang dikirim atau dimuat.
d.
Bidang Pendukung Redaksi
Bagian yang tak kalah pentingnya untuk membantu kelancaran kerja redaksi
adalah bagian Perpustakaan dan Dokumentasi serta bagian Penelitian dan
Pengembangan (Litbang). Litbang memantau perkembangan sebuah penerbitan, survei
pembaca, dan memberikan masukan-masukan bagi pengembangan redaksional dan
bagian lainnya, termasuk pembinaan dan pengembangan kualitas sumber daya
manusia.
1)
Bagian Usaha (Business Department)
Bertugas
menyebarluaskan media massa, yakni melakukan pemasaran (marketing) atau
penjualan (salling) media massa. Bagian ini merupakan sisi komersial
meliputi sirkulasi/distribusi, iklan, dan promosi. Biasanya, bagian pemasaran
dipimpin oleh seorang. Pemimpin Perusahaan atau seorang Manajer Pemasaran (Marketing
Manager) yang membawahkan Manajer Sirkulasi, Manajer Iklan, dan Manajer
Promosi.
6.
Prinsip Dasar Sistem Pekerjaan Kewartawan
- News Gathering. Hal ini adalah proses awal dari sistem pemberitaan, yakni tahapan satu organisasi media massa yang diwakili wartawannya mulai mengumpulkan berita.
b. News Editing. Hal ini adalah proses lanjutan dari sistem pemberitaan, yakni tahapan
satu organisasi media massa yang diwakili oleh para redaktur melakukan
penyuntingan berita.
c. News Distributing. Hal ini adalah proses akhir dari sistem pemberitan,
yakni tahapan satu organisasi media massa menyebarkan berita kepada publiknya.
d. News Evaluating. Hal ini banyak berkaitan dengan sistem media massa
yang senantiasa berupaya mengembangkan mutu -bukan hanya jumlah-beritanya,
sehingga menerapkan pola analisa isi (contents analysist) yang biasanya
dilakukan oleh satu unit/divisi khusus dalam manajemen keredaksian. Dari
tahapan evaluasi tersebut, maka media massa berupaya pula mengadakan perbaikan
mutu isi karya jurnalistiknya melalui “editorial clinic” dan pendidikan
berkelanjutan (continuing education).
Manjemen sebuah keredaksian pada dasarnya dibuat berdasarkan kebutuhan
institusi pers yang bersangkutan. Untuk sebuah penerbitan koordinator liputan
penting, namun bagi yang lain tidak. Begitu juga sebaliknya. Tujuan utamanya
bagaimana agar institusi keredaksian bisa berjalan dengan baik dan sesuai
dengan perencanaan.[1]
[1] Soekartono. http://sisil-masterpiece.blogspot.com/2008/05/manajemen-media-massa.html,diakses
pasa tanggal 01 November 2011 jam 09.00 WIB
PANDANGAN MAHASISWA TERHADAP PERS DI
INDONESIA
Pers adalah
badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala.Secara etimologis,
kata Pers (Belanda), atau Press (Inggris), atau presse
(Prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere,
yang berarti “Tekan” atau “Cetak”, definisi terminologisnya adalah “media massa
cetak” atau “media cetak”. Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian
komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media
merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses
penyampaian pesan antar manusia.[1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pers adalah usaha percetakan
dan penerbitan;usaha pengumpulan dan penyiaran berita; penyiaran berita melalui
surat kabar, majalah, dan radio; orang yg bergerak dl penyiaran berita; medium
penyiaran berita, spt surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film.[2] Dalam UU pers no 40 tahun 1999, Pers
adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.[3]
Kemerdekaan pers dalam arti luas merupakan pengungkapan kebebasan
berpendapat secara kolektif dari hak berpendapat secara individu yang diterima
sebagai hak asasi manusia. Masyarakat demokratis dibangun atas dasar konsepsi
kedaulatan rakyat, dan keinginan-keinginan pada masyarakat demokratis itu ditentukan
oleh opini publik yang dinyatakan secara terbuka. Hak publik untuk tahu inilah
inti dari kemerdekaan pers, sedangkan wartawan profesional, penulis, dan
produsen hanya pelaksanaan langsung. Tidak adanya kemerdekaan pers ini berarti
tidak adanya hak asasi manusia (HAM).[4]
Pembahasan RUU pers terakhir 1998 dan awal 1999 yang
kemudian menjadi UU no. 40 Tahun 1999 tentang pers sangat gencar. Independensi
pers, dalam arti jangan ada lagi campur tangan birokrasi terhadap pembinaan dan
pengembangan kehidupan pers nasional juga diperjuangkan oleh kalangan pers.
Komitmen seperti itu sudah diusulkan sejak pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia PWI tahun
1946. Pada saat pembahasan RUU pers itu di DPR-RI, kalangan pers dengan gigih
memperjuangkan independensi pers. Hasil perjuangan itu memang tercapai dengan
bulatnya pendirian sehingga muncul jargon “biarkanlah pers mengatur dirinya
sendiri sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi campur tangan birokrasi”.
Aktualisasi keberhasilan perjuangan itu adalah dibentuknya Dewan Pers yang
independen sebagaimana ditetapkan dalam UUD No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Kemerdekaan pers berasal dari kedaulatan rakyat dan
digunakan sebagai perisai bagi rakyat dari ancaman pelanggaran HAM oleh
kesewenang-wenangan kekuasaan atau uang.Dengan kemerdekan pers terjadilah chek
and balance dalam kehidupan bangsa dan bernegara. Kemerdekaan pers berhasil
diraih, karena keberhasilan reformasi yang mengakhiri kekuasan rezim Orde Baru
pada tahun 1998.[5]
Tentunya kita
tidak lupa dengan fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan
dan kontrol sosial . Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui menegakkkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak
asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar melakukan pengawasan,
kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
umum memperjuangkan keadilan dan kebenaran Berdasarkan fungsi dan peranan pers
yang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi(
the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif ,
serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Fungsi peranan
pers itu baru dapat dijalankan secra optimal apabila terdapat jaminan kebebasan
pers dari pemerintah. Menurut tokoh pers, Jakob Oetama “kebebasan pers menjadi
syarat mutlak agar pers secara optimal dapat melakukan peranannya”. Sulit
dibayangkan bagaimana peranan pers tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada
jaminan terhadap kebebasan pers. Pemerintah orde baru di Indonesia sebagai
rezim pemerintahan yang sangat membatasi kebebasan pers. Namun kondisi yang
terlihat sekarang pers makin kehilangan kemampuannya untuk menggali realitas dinamis dalam
masyarakat. Selain itu, media cetak juga terlalu banyak menyajikan realitas
elite yang justru semakin membingungkan pembaca. Ketidakmampuan menampilkan
informasi yang diperlukan khalayak untuk menyusun agenda pembacanya itu
menyebabkan mereka berangsur-angsur ditinggalkan. Sehingga pembaca terkadang
kurang antusias terhad apa yang ingin dibacanya, mungkin iklan yang disajikan
terlalu elite, sedangkan kita tidak pernah tahu dari kalangan mana saja yang
membaca media cetak tersebut.
Fakta yang
sering muncul sekarang- sekarang ini adalah aksi menuntut reformasi. Dan dari
kalangan mahasiswa sendiri yang sering demo disana-sini idealis memang. Dan itu muncul karena selama
ini para mahasiswa merasa tidak didengar, tidak diperhitungkan, dan bahkan
tidak dipercaya. Jaringan informasi, yang dibentuk oleh pers mahasiswa
itulah yang merupakan "pendukung tak terduga" dari aksi-aksi unjuk
rasa di berbagai kampus Nusantara. Dalam dunia mahasiswa kini telah banyak
wadah yang dapat menyalurkan aspirasi mereka ketika tidak ada respon. Kehadiran
media yang menjadi penyalur asprirasi mahasiswa sangat memberikan sumbangsih
berharga. Dibandingkan media massa umum, ternyata media alternatif yang berbasis
di kampus-kampus jauh lebih konsisten dan tetap setia memperjuangkan idealisme
pers pada umumnya. Baik semasa rezim pemerintahan Orde Baru maupun sekarang,
media alternatif ini masih tetap setia dengan sikap kritisnya terhadap
pemerintah. Tanpa henti mereka memperjuangkan keadilan dan kebenaran, serta
senantiasa peka terhadap kebutuhan masyarakat. Teruskan
perjuanganmu para mahasiswa untuk terus mengembangkan idealisme guna
mencerdaskan generasi- generasi bangsa.
[1]Alex Sobur. Etika
Pers Profesionalisme dengan Nurani. (Bandung : Humaniora Utama Press.
2001). hlm. 145
[2] Kafeilmu.com/tema/pers-menurut-kamus-besar-bahasa-indonesia.html
diakses pada tanggal 27 Nopember 2011 jam 09.14 WIB
[3] M Ridlo Eisy. Peranan
Media dalam Masyarakat. (Jakarta : Dewan Pers. 2007). hlm. 65
[4] Ibid., hlm. 60
[5] RH. Siregar. Setengah
Abad Pergulatan Etika Pers. (Jakarta : Dewan Kehormatan PWI.
2005). hlm. 6
Jurnalistik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: “segala sesuatu yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran.” (2001:482). Sementara, jurnalisme dijelaskan sebagai “Pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita dalam surat kabar dan sebagainya.” (2001: 482). Menurut Dja’far H. Assegaff dalam buku “Jurnalistik Masa Kini Pengantar ke Praktek Kewartawana”, masyarakat sering menyamakan jurnalistik dengan pers, dan terkadang lebih mudah dengan menyamakan jurnalistik sebagai surat kabar atau majalah. Hal ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa media massa yang pertama ialah “media tercetak”. Namun mulai abad keduapuluh penemuan alat-alat elektronik seperti radio, film, dan televisi juga dimanfaatkan untuk kegiatan jurnalistik.
Orang tidak dapat membajangkan lagi sekarang, bagaimana sekiranja hidup kita ini, bilamana tidak ada surat kabar. (Parada Harahap “Kedudukan Pers Di Masjarakat” 1951).
Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di Indonesia, bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah koran dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah koran bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Koran yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan koran dan surat kabar di Batavia.
Walaupun demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa disamping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai keperluan.
Dengan kata lain media masa dimasa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini.
Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di Indonesia.
R. M. Tirtoadisuryo pelopor kebebasan pers
Sampai akhir abad ke-19, koran yang terbit di Batavia hanya memakai bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar dimasa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya boleh dikata kurang seru dan “kering”. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal.
Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masjarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.
Kritik semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.
Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung “curhat atau aspirasi” tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang membahas soal politik mulai marak.
Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan
Pers kaum pribumi
Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.
Hadirnya Medan Prijaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
Pers pasca kemerdekaan
Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, termasuk pers. Yang direbut terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di perusahaan koran milik Jepang, yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar Baroe (Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 2605 (tahun Jepang) koran-koran tersebut telah terbit dengan mengutamakan berita sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu telah dimuat secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti "Maklumat Kepada Seluruh Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia Sudah Berdiri", "Pernyataan Indonesia Merdeka", "Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu "Indonesia Raya".
Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Dimasa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan tugasnya. Dalam masa klas pertama tahun 1947, pers Indonesia terbagi dua. Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan kedua telah mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah musuh, yang selalu dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda, golongan pertama tetap menerbitkan koran yang berhaluan Republikein. Yang terkenal di masa itu antara lain Merdeka, Waspada, dan Mimbar Umum. Demikian pula yang bergerilya ke pedalaman, dengan peralatan dan bahan seadanya, koran mereka senantiasa menjaga agar jiwa revolusi tetap menyala. Di masa itu telah beredar koran kaum gerilya, yakni Suara Rakjat, Api Rakjat, Patriot, Penghela Rakjat, dan Menara. Koran-koran ini dicetak di atas kertas merang atau stensil dengan perwajahan yang sangat sederhana.
Pemberedelan pertama
Kondisi pers kita sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding dimasa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran, karena beritanya selalu untuk kepentingan penguasa. Sedang pada masa kemerdekaan, koran apa saja selalu menjadi rebutan masyarakat. Sehari setelah beberapa koran mengabarkan berita tentang pembacaan teks proklamasi, maka hari-hari berikutnya masyarakat mulai memburunya. Mereka tampaknya tidak mau ketinggalan mengikuti berita perkembangan negaranya yang baru merdeka itu. Minat baca semakin meningkat dan orang mulai sadar akan kebutuhannya terhadap media massa. Suasana seperti ini tentunya berdampak positif bagi para pengelola media masa di masa itu. Usaha penerbitan koran pun mulai marak kembali, yang konon diramaikan oleh irama gemercaknya suara alat cetak intertype atau mesin roneo. Sementara itu para kuli tinta yang sibuk kian kemari memburu berita, semakin banyak jumlahnya. Untuk menertibkan dan mempersatukan mereka, pada tahun 1946 atas inisiatif para wartawan telah dilangsungkan kongres di Solo. Dalam kongres itu telah dibentuk persatuan wartawan dan Mr. Sumanang, ditunjuk sebagai ketuanya.
Tercatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah pers di masa revolusi yakni di tahun yang sama telah didirikan Sari Pers di Jakarta oleh Pak Sastro dan kantor berita Antara dibuka kembali, setelah selama tiga tahun dibekukan Jepang. Kantor Sari Pers setiap hari mencetak ratusan koran stensilan yang memuat berbagai berita penting dari seluruh tanah air.
Dari hari ke hari berita di media massa silih berganti, dari pertempuran dan perundingan, sampai pembangunan serta kabar berita yang penuh suka dan duka. Seperti berita di tahun 1945. Indonesia Merdeka telah disambut gembira, namun dibulan November muncul berita duka, yakni tentara Inggris telah membantai ribuan rakyat dan para pejuang Indonesia serta membumihanguskan kota Surabaya. Di tahun 1946 rakyat Indonesia telah memperingati hari proklamasi dengan sangat meriah sebanyak dua kali, yakni pada tanggal 17 Februari, ketika Indonesia Merdeka baru berumur setengah tahun dan tanggal 17 Agustus. Tahun 1946 ditutup dengan munculnya berita musibah yang memenuhi halaman-halaman koran, yakni pembunuhan 40.000 rakyat Sulsel oleh Gerombolan Westerling pada tanggal 11 Desember. Tindakan kejam ini dilakukan pihak Belanda untuk melancarkan jalan menuju terbentuknya negara boneka Indonesia Timur.
Memasuki tahun 1948 situasi dan kondisi negara RI memang mulai diwarnai oleh suasana perpecahan. Di masa itu semakin terasa ada dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan kanan (Front Nasional) dan golongan ekstrem kiri (komunis) yang disebut FDR (Front Demokrasi Rakyat). Puncak konflik ini ditandai oleh meletusnya pemberontakan Peristiwa Madiun yang didalangi oleh PKI Muso. Peristiwa ini sempat mengguncang pemerintah. Betapa tidak, sementara rakyat kita sedang sibuk menghadapi agresi Belanda, tiba-tiba PKI menusuk dari belakang. Pidato Presiden Soekarno yang berbunyi: "Pilih Soekarno-Hatta atau Muso dengan PKI-nya" sempat menjadi berita utama dalam setiap koran. Di masa penuh konflik inilah untuk pertama kalinya terjadi pemberedelan koran dalam sejarah pers RI. Tercatat beberapa koran dari pihak FDR seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota telah dibreidel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya.
Pers dan pemerintah
Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers. Di masa itu telah disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga beberapa perubahan aturan yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht (UU bikinan Belanda), seperti drukpersreglement tahun 1856, persbreidel ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya. Namun upaya ini pelaksanaannya tertunda karena invasi dari pihak Belanda. Barulah setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan dalam bidang pers dilanjutkan kembali.
Di saat itu telah terjadi peristiwa bersatunya kembali golongan insan pers yang bergerak di kota yang dikuasai Belanda dengan golongan yang bergerak di daerah gerilya. Hubungan itu meliputi soal perundang-undangan, kebijaksanaan pemerintah terhadap kepentingan pers dalam hal aspek sosial ekonomi maupun aspek politisnya.
Dalam UUD pasal 19 contohnya, telah dicantumkan kalimat, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UUD pasal 19 tersebut telah diusulkan dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya tanggal 7 Desember 1949 yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers yang mencakup memberi perlindungan kepada pers nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan perusahaan surat kabar, dan mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan.
Usulan di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai merencanakan segala peraturan mengenai pers dan berupaya sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi demokrasi. Hubungan antara pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara membentuk Panitia Pers pada tanggal 15 Maret 1950, penambahan halaman koran, persediaan kertas dan bahan-bahan yang diperlukan, tanpa ada ikatan apapun yang mengurangi kemerdekaan pers. Untuk meningkatkan nilai dan mutu jurnalistik, maka para wartawan diberi kesempatan untuk memperdalam ilmunya. Dan diupayakan pula agar kedudukan kantor berita Antara lebih terasa sebagai mitra dari para pengelola surat kabar.
Upaya di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers yang tertib dan menguntungkan semua pihak. Jumlah perusahaan koran pun dari tahun ke tahun semakin meningkat. Buktinya dalam kurun waktu empat tahun sesudah 1949, jumlah surat kabar berbahasa Indonesia, Belanda, dan Cina naik, dari 70 menjadi 101 buah. Sekalipun demikian bukan berarti mutu jurnalistiknya ikut meningkat. Untuk itu, Ruslan Abdulgani dalam tulisannya "Pers Nasional dan Funksi Sosialnya" telah menulis sebagai berikut, "Mempertinggi mutu journalistiek pada umumnja harus diartikan mempertinggi kwaliteit apa jang ditulis: hal ini dapat ditjapai bila wartawan berkesempatan tjukup memperlengkapi dirinja dengan pengetahuan tentang keadaan jang hendak ditulis, dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie, ekomomi, psychologie, sedjarah dan ketatanegaraan".
Selanjutnya, pada jaman pendudukan Jepang., untuk wilayah Jawa dan Madura diterapkan Undang-undang No.16 yang memberlakukan sistem lisensi dan sensor preventif. Setiap penerbitan cetak harus memiliki ijin terbit serta melarang penerbitan yang dinilai memusuhi Jepang. Aturan itu masih diperkuat lagi dengan menempatkan shidooin (penasehat) dalam staf redaksi setiap surat kabar. Tugas “penasehat” ini sesungguhnya adalah mengontrol dan menyensor, bahkan adakalanya menulis artikel-artikel dengan memakai nama para anggota redaksi.
Sejumlah aturan yang diterapkan pada era penjajahan itu ternyata tetap dipelihara oleh pemerintahan Republik Indonesia, setelah memproklamasikan kemerdekaan. Misalnya ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie, terus dipakai dan secara formal baru diganti pada 1954. Mengikuti perkembangan politik, pada 14 September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku Penguasa Militer, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956. Pasal 1 peraturan ini menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan serta memiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung kecaman atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itu juga berlaku bagi tulisan dan gambar yang dinilai mengandung perenyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan. Ketentuan yang sangat mirip dengan Haatzaai.
Artikel ini, kemudian dicabut setelah diprotes kalangan pers. Mengikuti penerapan situasi darurat perang (SOB), Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963. Selain Surat Ijin terbit, setelah meletus Peristiwa Gerakan 30 september 1965, berlaku pula Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda). Pers Indonesia saat itu dikepung dengan ketentuan SIT, SIC, serta ada lagi: Surat Ijin Pembagian Kertas (SIPK), kertas tidak akan diberikan kepada media yang dinilai tidak patuh.
Era Orde Baru: Bredel Enggan Berlalu
Aturan yang menindas pers itu terus dilestarikan pada era Soeharto, represi sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru—orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen (dalam Soebagijo I.N, Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977, hal.181)
Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden.
Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, kepada pemimpin nasional (Soeharto).
Kisah pembredelan di era Soeharto terus berlanjut. Era 1980-an meminta korban antara lain: pada 1982 majalah Tempo ditutup untuk sementara waktu, ketika menulis peristiwa kerusuhan kampanye pemilu di Lapangan Banteng. Koran Jurnal Ekuin, dilarang terbit pada Maret 1983 oleh Kopkamtib akibat menyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor minyak Indonesia yang merupakan informasi off the record. Korban berikutnya adalah majalah Expo (Januari 1984) setelah memuat serial tulisan mengenai Seratus Milyader Indonesia. Tulisan tersebut dinilai telah “melakukan penyimpangan terhadap ketentuan perundangan yang mengatur manajemen penerbitan pers”.
Dua bulan kemudian giliran majalah Topik akibat menulis editorial Mencari Golongan Miskin (Topik, 14 Februari 1984) dan menurunkan wawancara imajiner dengan Presiden Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertama dinilai “cenderung beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentang kelas”, sedangkan tulisan kedua dianggap “bernada sinis, insinuatif dan tidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab.” Bulan Mei 1984, majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkan tulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial.
Berikutnya, pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit Deretan pembredelanitu terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalah Senang, hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor dan Detik.
Pers Pancasila: Produk Asli Indonesia
Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers). Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an.
Rumusan tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.
Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bias terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya.
Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut—secara sinis—sebagai “budaya telepon”. Peringatan melalui telepon ini bias dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh pers.
Pers dan wartawan yang tidak bebas, ikut mengajarkan rasa takut terhadap kebebasan pada masyarakat. Atau setidaknya mereka bersikap masa bodoh, sejauh keuntungan ekonomi masih diperoleh. Di era rezim Soeharto, sejak pertengahan 1980-an, pers Indonesia mulai mencicipi buah keuntungan era pers industri. Dalam pers industri, bisnis informasi ternyata menjanjikan keuntungan besar, dan tingkat kesejahteraan wartawan menjadi semakin baik. Namun keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin menumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan. Akibatnya yang menjadi prioritas pers Indonesia—didukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah perolehan keuntungan, bukan kualitas berita.
Konsentrasi untuk mendapat keuntungan besar dan kesejahteraan materi dari bisnis pers menjadi semacam eskapisme bagi wartawan. Karena dalam situasi represif, sulit bagi wartawan untuk bisa mengeksplorasi kemampuan jurnalistiknya. Apalagi dengan adanya “hantu” pencabutan lisensi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Izin SIUPP benar-benar seperti nyawa bagi pers, dan pemerintah adalah malaikat yang siap mencabut nyawa itu setiap waktu. Pencabutan SIUPP menjadi momok yang menakutkan bagi pers.
Terlebih-lebih saat itu sangat sulit untuk memperoleh SIUPP. Kriteria untuk mendapat SIUPP tidak jelas, dan menjadi rahasia umum, kalangan yang dekat dengan kekuasaan saja lah yang bisa mendapat SIUPP baru. Sehingga muncul dugaan SIUPP sengaja dijadikan alat untuk menyeleksi kepemilikan pers. Selain itu, ketika pemerintah (Departemen Penerangan), pada akhir 1980an, memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan SIUPP baru, selembar kertas perizinan itu nilainya menjadi amat mahal untuk diperjualbelikan. Melalui sistem lisensi ini lah negara (pemerintah) menguasai “ruang publik”, bukan saja media massa harus mendapat ijin agar terbit, rapat-rapat dan pertemuan publik (lebih dari lima orang) juga harus mendapat ijin.
Ruang publik tersebut adalah “wilayah” yang bebas dari kontrol negara dan modal. Setiap anggota masyarakat dapat saling berinteraksi, belajar dan berdebat tentang masalah-masalah publik tanpa perlu risau adanya campur tangan penguasa (politik dan ekonomi). Dan media massa merupakan salah satu ruang publik yang paling efektif untuk sarana itu. Namun, di Indonesia, ruang publik (media) telah dikuasai negara, akibatnya dalam praktek jurnalisme di Indonesia, para wartawan lebih menempatkan ucapan pejabat, jenderal dan tokoh bisnis. Selain karena demi keamanan kelanjutan penerbitan, juga berangsur-angsur muncul anggapan bahwa ucapan pejabat pemerintah memberikan legitimasi yang kuat terhadap berita.
Praktek jurnalisme semacam itu (news talking) selain aman juga lebih mudah dilakukan oleh para wartawan—juga menguntungkan bagi perusahaan pers, karena meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan dalam proses peliputan berita. Sebaliknya, praktek news talking memberikan peluang besar bagi para politisi (dan pengamat) untuk memanipulasi berita. Akibat lebih jauh dari praktek jurnalisme ini adalah trend menonjolnya peran hubungan masyarakat (Humas) kantor pemerintah dan perusahaan swasta yang siap menyediakan “segala informasi” untuk membantu kerja wartawan.
Dengan maraknya “jurnalisme humas”, menyebabkan masyarakat semakin sulit memperoleh informasi yang benar tentang berbagai persoalan. Satu penelitian yang diadakan oleh Rizal Mallarangeng pada awal 1990 terhadap dua harian berpengaruh di Indonesia (Kompas dan Suara Karya) memperlihatkan besarnya ketergantungan dua media tersebut terhadap narasumber pejabat pemerintah atau birokrat. Sekitar 89,1 % berita Suara Karya dan 69,1 % berita bersumber dari pernyataan birokrat dan pejabat. Sedangkan menyangkut orientasi pemberitaan, sekitar 86,6% berita Suara Karya dan 78.9% berita di Kompas berisi dukungan terhadap kebijakan pemerintah.
Menentang Tirani: Mencari Alternatif
Pada era Soeharto terdapat tiga faktor utama penghambat kebebasan pers dan arus informasi: adanya sistem perizinan terhadap pers (SIUPP), adanya wadah tunggal organisasi pers dan wartawan, serta praktek intimidasi dan sensor terhadap pers. Faktor-faktor itu lah yang telah berhasil menghambat arus informasi dan memandulkan potensi pers untuk menjadi lembaga kontrol.
Wartawan Indonesia, selama 52 tahun, sejak Republik Indonesia berdiri, cuma mengenal satu organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Organisasi ini setiap kali terperangkap dalam korporatisme negara. Negara mengkooptasi PWI dan menggunakannya sebagai operator untuk merepresi dan mengintimidasi pers. Praktis, wartawan Indonesia tidak memiliki organisasi yang bisa mewakili dalam memperjuangkan hak, melindungi dan meningkatkan profesinya.
Sebaliknya, wartawan justru dikontrol dan dilumpuhkan secara sistematis oleh PWI. Pemerintahan Soeharto telah menciptakan mekanisme kontrol efektif terhadap pers melalui tekanan untuk self cencorship, peringatan, teguran dan pembredelan. Namun kontrol yang paling efektif justru dilakukan oleh orang pers sendiri, melalui Dewan Pers serta PWI. Pengurus dua organisasi ini dengan sadar memfungsikan diri sebagai operator pemerintah dalam menekan pers.
Pada akhirnya tekanan memunculkan perlawanan, pemicunya justru pembredelan tiga media terkemuka Tempo, Detik, dan Editor, pada 21 Juni 1994. Berbeda dari berbagai pembredelan pers yang sering terjadi di Indonesia, penutupan tiga media itu, di luar dugaan, memunculkan reaksi perlawanan masyarakat. Ratusan wartawan bergabung dengan mahasiswa dan aktivis NGO melakukan demonstrasi pada hari-hari setelah pembredelan.
Khusus di kalangan wartawan, reaksi keras ditujukan kepada PWI. Sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang ada, PWI tidak memrotes pembredelan itu, sebaliknya malah “bisa memahami” sikap yang diambil rezim Soeharto. Bukan rahasia lagi, PWI merupakan kepanjangan birokrasi Departemen Penerangan. Sehingga, bukannya membela kepentingan, hak-hak dan aspirasi wartawan, PWI justru menjadi mesin teror bagi wartawan. Kalangan wartawan muda yang tidak puas atas sikap PWI ini pada 7 Agustus 1994 mendeklarasikan terbentuknya AJI sebagai wujud sikap “menolak wadah tunggal wartawan” dan sebagai organisasi alternatif bagi wartawan.
Berdirinya AJI segera mengguncangkan hegemoni PWI, ini terbukti Departemen Penerangan dan PWI dengan sengit mencoba meniadakan kehadiran AJI. PWI memecat 13 anggotanya yang terlibat di AJI serta meminta perusahaan pers tidak mempekerjakan wartawan AJI. Belasan wartawan AJI disingkirkan dari kerja kewartawanan atau diminta mengundurkan diri. Pemimpin redaksi yang dianggap tidak sejalan dengan garis pemerintah serta merta bisa dicabut rekomendasinya dan hilang haknya sebagai pemimpin redaksi. “Pokoknya orang AJI tidak boleh jadi wartawan, mereka boleh kerja di perusahaan pers sebagai tukang sapu,” demikian ancam seorang pengurus PWI ketika mengintimidasi pemimpin redaksi D&R yang diketahui mempekerjakan orang AJI.
Kelahiran AJI memang dipacu oleh pembredelan Juni 1994. Namun embrionya dimulai ketika wartawan muda di sejumlah kota mendirikan forum-forum diskusi wartawan. Mereka adalah Forum Wartawan Independen di Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta, Pers Club di Surabaya, dan Solidaritas Jurnalis Independen di Jakarta. Forum-forum wartawan yang berdiri awal 1990 an ini bersifat cair dan informal, karena untuk mendirikan organisasi formal wartawan di luar PWI, saat itu, hampir mustahil. Forum-forum diskusi wartawan semacam itu menjadi oase bagi kesumpekan wartawan yang menyadari mereka tak memiliki organisasi yang bisa menyuarakan aspirasi mereka.
Kecenderungan Rezim Soeharto mengkooptasi dan cuma mengakui satu organisasi bagi setiap sektor organisasi masyarakat, mulai mendapat perlawanan. Berdirinya organisasi alternatif untuk menolak ketentuan pemerintah juga terjadi sektor lain. Di kalangan buruh, pada 1992, berdiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) sebagai tandingan terhadap Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) milik pemerintah. Untuk menandingi Dharma Wanita, telah muncul sejumlah kelompok NGO perempuan. Di kalangan mahasiswa, dibentuk berbagai “komite”atau “kelompok solidaritas” untuk menandingi organisasi kemahasiswaan yang diakui pemerintah.
Berbagai kelompok alternatif itu menggalang jaringan oposisi. Mencoba tampil di lingkup politik mengambil alih fungsi partai politik dan parlemen yang telah bungkam lembaga eksekutif. AJI membangun jaringan di kalangan wartawan muda di berbagai daerah, juga melakukan training dan pelatihan kepada aktivis pers mahasiswa, serta mengorganisir aksi.
Selain menjadi organisasi alternatif, AJI juga menerbitkan media alternatif tanpa SIUPP, Independen, sebagai sikap menolak politik perizinan. Selain Independen terdapat media yang aktif menyebarkan informasi alternative seperti yang diterbitkan Pijar Indonesia, Kabar dari Pijar, media-media kampus serta bulletin terbitan NGO. Berbagi media tanpa SIUPP itu menjadi alternatif bagi pembaca yang tidak puas dengan isi berita media mainstream. Semula Independen diterbitkan sebagai newsletter bagi anggota AJI, dengan berita mengenai seputar pers. Pada perkembangannya Independen juga menyediakan ruang untuk berita-berita umum, khususnya untuk fakta-fakta yang tidak bisa disiarkan oleh pers mainstream. Independen menampung berita-berita hasil reportase wartawan AJI, yang tidak mungkin dicetak oleh pers mainstream.
Salah satu laporan investigatif Independen yang banyak mendapat reaksi adalah edisi nomor 10, terbit menjelang Hari Pers Nasional, Februari 1995. Dalam edisi itu, Independen mengungkap kepemilikan saham-saham Menteri Penerangan (saat itu) Harmoko dan keluarganya di beberapa media massa. Bagi kalangan pers, kabar Menteri Penerangan Harmoko memiliki saham di berbagai perusahaan pers, sudah banyak diperbincangkan, meskipun bisik-bisik.
Hantaman Krisis: Pers Menggeliat
Pers Indonesia semakin kehilangan nyali pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor. Khususnya periode setelah terjadi huru-hara Peristiwa penyerbuan kantor PDI, 27 Juli 1996 sampai dengan Pemilu 1997. Pers mainstream cuma berharap agar tetap selamat di hadapan kekuasaan yang gampang marah, akibat konfigurasi politik yang bergeser, sambil mengais keuntungan dari peluang pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan.
Pers mainstream yang “mati suri” selama tiga tahun (1994-1997), mulai menggeliat bangun pada awal 1998. Badai krisis moneter yang ikut melanda Indonesia pada akhir 1997 mempengaruhi kinerja pers. Banyak pers yang terancam bangkrut akibat nilai rupiah yang terjun bebas, mengakibatkan ongkos produksi harga kertas dan tinta mengangkasa. Manajemen penerbitan pers menerapkan penghematan total: jumlah halaman koran dikurangi, gaji wartawan dipangkas sampai ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi wartawan.
Dalam kondisi sulit akibat krisis moneter ini Pers Indonesia semakin ditekan. Ramainya aksi demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi, yang kemudian menjadi berita di berbagai media, memicu tuduhan pemerintah bahwa Pers Indonesia tidak proporsional dalam memberikan gambaran sesungguhnya tentang situasi akhir-akhir ini. Intimidasi terhadap pers pada awal 1998 langsung disuarakan oleh Presiden Soeharto.
Bulan Januari 1998, Soeharto menuduh pemberitaan pers sebagai penyebab kepanikan masyarakat yang menyerbu toko dan supermarket untuk memborong bahan kebutuhan pokok (panic buying). Bulan Februari, seusai penandatanganan nota kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF), Soeharto menuduh pers Indonesia telah memanas-manasi situasi berkaitan dengan krisis moneter yang sedang terjadi dan menyebabkan rupiah semakin turun. Pernyataan itu ditegaskan lagi dalam sambutan pidato pertanggungjawaban presiden di depan Sidang Umum MPR, Maret 1998. Berbagai tekanan kepada pers itu tidak berujung pada pembredelan, mengingat pemerintahan Soeharto mulai goyah legitimasinya.
Namun rezim yang mulai sekarat itu masih mencoba menggertak pers dengan kasus sampul Soeharto sebagai “Raja Sekop” di majalah D&R, awal Maret 1998. Menteri Penerangan Hartono bermaksud menuntut D&R ke pengadilan karena melakukan penghinaan terhadap kepala negara, melecehkan konstitusi dan menurunkan martabat bangsa. Namun sebelum pengadilan berlangsung, D&R sudah terlebih dulu divonis. PWI menskorsing pemimpin redaksi D&R selama dua tahun. Kasus D&R ini kemudian mengambang dan tidak ada penyelesaiannya.
Berkah Internet: Pertarungan di Alam Maya
Sejak 1995, Internet memainkan peran penting dalam penyebaran informasi di kalangan aktivis dan pengakses internet. Demam internet di Indonesia dijangkitkan oleh kehadiran Apakabar, mailing-list yang dikelola oleh John McDougall dari Amerika. Melalui Apakabar berbagai pandangan disebarkan, dari yang paling radikal hingga puritan, dari aktivis pro-demokrasi sampai aparat intel-militer. Selain berisi polemik berbagai pendapat dan pandangan, Apakabar juga menyebarkan informasi dari media massa, dalam dan luar negeri, yang berkaitan dengan situasi terbaru di Indonesia.
Sukses Apakabar ini kemudian diikuti munculnya berbagai situs internet dan mailing-list yang dikelola para aktivis di Indonesia. Para wartawan eks-Tempo mengelola Tempo Interaktif, diikuti sejumlah mailing list seperti SiaR, KDPnet, AJInews, X-pos, Demidemokrasi, Indo-News.com, dll. Informasi yang disebarkan melalui internet mampu memuaskan masyarakat yang haus informasi, materi dari internet seringkali di down-load dan difotokopi sehingga bisa dibaca oleh mereka yang tidak memiliki akses ke internet.
Selain itu, sensor yang menjadi kebiasaan rezim Soeharto, dengan mem-black out halaman koran atau majalah asing yang memuat tentang Indonesia, tidak bisa diterapkan di internet. Materi yang paling banyak beredar di internet adalah menyangkut kekayaan Soeharto dan praktek KKN rezim Orde Baru, disamping diskusi tentang demokrasi, hak asasi manusia serta menebarkan gagasan oposisi. Selain itu melalui internet aktivis pro-demokrasi juga saling berbagi informasi serta melakukan koordinasi, seperti menentukan waktu dan tempat aksi unjuk rasa.
Setelah rezim Soeharto tumbang, media on-line yang berorientasi profit semakin tumbuh menjamur, seperti detik.com, mandiri.com, satunet.com, berpolitik.com, astaga.com. disamping itu sebagian besar media mainstream, seperti Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Forum, dll., juga memiliki versi on-line.
Pers pasca jatuhnya Soeharto
Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis ekonomi dan karena arus informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintahannya mengalir tanpa bisa dibendung-- melalui media alternatif dan internet. Selain itu, pers juga tidak lagi mau dibungkam. Saat-saat terakhir menjelang keruntuhannya, Presiden Soeharto mencoba mengintimidasi pers, dengan menuduh pers "tidak proporsional dan melakukan disinformasi”. Soeharto marah karena pers selalu menempatkan aksi demonstrasi mahasiswa dan tuntutan reformasi di halaman pertama. Biasanya pers Indonesia akan ciut nyalinya jika Soeharto marah, namun situasi memang sedang berubah.
Perubahan pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis itu berarti peluang terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Penerangan yang baru, Junus Josfiah, segera merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) dan mencabut ketentuan wadah tunggal organisasi wartawan.
Pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang mencabut SIUPP—yang menjadi sangat mudah diperoleh. Lebih dari 1.600 SIUPP baru dikeluarkan periode Mei 1998-Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP akhirnya dicabut, dengan disahkannya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers pada September 1999. Bandingkan dengan era Soeharto yang cuma mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahun kekuasaannya.
Perubahan lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikan organisasi baru di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagai organisasi ilegal, mulai diakui keberadaannya. Diikuti dengan lahirnya berbagai organisai wartawan baru seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), PWI Reformasi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 40. Memang terkesan ada inflasi organisasi wartawan dan penerbitan baru.
Tapi ini gejala wajar, semacam demam kebebasan yang sedang dirayakan masyarakat (sebagaimana munculnya partai-partai politik baru, yang jumlahnya pernah mencapai 108 partai-- dari semula 3 partai). Para wartawan yang lama terkungkung dalam satu wadah organisasi, menemukan momentum untuk mengaktualisasikan diri. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers.
Banyak pengusaha “dadakan” menerbitkan penerbitan pers dengan nama-nama yang aneh atau lucu, yang mengesankan kurang serius, seperti Deru, Dobrak, Pantura, Amien Pos, Mega Pos, Posmo, X-file, Gugat (tabloid ini bermotto: trial by the press) Terbukti kemudian, banyak media yang cuma bertahan satu atau dua bulan, dan berhenti terbit.
Fenomena lain yang muncul, dan sempat memunculkan kekhawatiran kembalinya media partisan, adalah terbitnya sejumlah tabloid yang “berafiliasi” dengan partai politik. Media partai itu antara lain Amanat milik Partai Amanat Nasional (PAN), Duta Masyarakat milik Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Demokrat dikelola oleh Partai Demokrasi-Perjuangan (PDI-P), Abadi milik Partai Bulan Bintang (PBB) dan Siaga yang dianggap corong Partai Golkar.
Berbeda dengan media partisan era demokrasi liberal pada tahun 1950-an, yang murni merupakan alat partai politik, media partisan jaman reformasi kali ini terbit dengan motif utama bisnis ketimbang politik, karena kelompok Jawa Pos Grup (Dahlan Iskan) lah yang mendanai penerbitan empat media parpol itu.
Pers Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di era Presiden Habibie, namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukan tanpa ancaman. Karakter rezim Habibie sulit diprediksi, mengingat sebagian besar pejabat pemerintah adalah “orang-orang Soeharto” juga. Sejumlah contoh menunjukkan rezim baru Habibie berupaya mengontrol pers. Pada bulan Juni 1998, Habibie melontarkan gagasan untuk menerapkan "sistem lisensi" pada wartawan, dan sebulan kemudian dia mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (kedua usulan itu bias digagalkan, berkat gencarnya perlawanan melalui aksi oposisi).
Habibie juga meminta militer menindak keras aksi-aksi demonstrasi masyarakat. Bulan Juli 1998, acara Talk Show di stasiun Indosiar dihentikan secara tiba-tiba, oleh Menteri Sekretaris Negara (saat itu) Akbar Tanjung, ketika acara sedang disiarkan, karena dianggap terlalu lugas dalam mengritik Habibie. Tabloid Detak dan harian Merdeka dituntut oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, karena membongkar keterlibatan Syarwan dalam Peristiwa 27 Juli 1996 (penyerbuan kantor PDI).. Majalah Tajuk dituntut oleh Kodam Jaya atas tulisan tentang keterlibatan militer dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998. Pemberitaan media yang gencar menyangkut penyadapan percakapan telepon antara Presiden Habibie dengan Jaksa Agung Andi M. Ghalib, telah menyebabkan beberapa pemimpin redaksi diperiksa oleh kepolisian.
Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu.
Dengan kemudahan memperoleh ijin menerbitkan media, berakibat muncul konflik manajemen di sejumlah media. Misalnya, sebagian awak majalah Gatra hengkang mendirikan Gamma (Desember 1998), aksi serupa juga terjadi di harian Suara Pembaruan dengan terbitnya Suara Bangsa. Koran tertua Merdeka yang sebagian sahamnya diambil oleh oleh Jawa Pos Grup, ternyata menjadi bumerang, manajemen milik Dahlan Iskan itu kemudian menerbitkan Rakyat Merdeka setelah muncul ketidaksepahaman dalama manajerial.
Era kebebasan pers juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme, banyak tabloid baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderung pornografis). Sejumlah pemimpin redaksi tabloid erotis sempat di seret ke pengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi majalah Matra, Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif misalnya dipraktekkan oleh tabloid Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itu pada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan “persaingan” mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, dan mantan Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu semata-mata bersandar pada rumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan konfirmasi atau wawancara kepada tiga figur tersebut.
Kebebasan pers Indonesia, kemudian, banyak dikecam sebagai “kelewat batas” dan chaotic. Keprihatinan terhadap rendahnya penghargaan pada etika pers, khususnya untuk tabloid-tabloid baru, ramai disuarakan. Sebagai reaksi atas kondisi pers yang terkesan liar dan tak terkontrol itu bermunculan lembaga-lembaga yang menerbitkan jurnal pengawas media (media watch). Pada saat yang sama pers Indonesia memang tidak memiliki lembaga yang mampu mengawasi etika pers. Dewan Pers (bentukan pemerintah), yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengontrol, tidak bisa berfungsi, karena kehilangan legitimasinya. Untuk merespon suara kecaman terhadap pers itu, Dewan Pers bersama sejumlah organisasi wartawan berupaya merumuskan kode etik bersama—yang menjadi patokan untuk seluruh organisasi wartawan. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui proses perdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatangani oleh wakil dari 26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999.
Sementara itu, masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnya reformasi mulai menggagas untuk menyusun Undang-undang Pers baru guna membentengi kemerdekaan pers yang diperoleh. Sejumlah aktivis, pakar komunikasi, wartawan dan pengurus organisasi pers, pada akhir 1998 membentuk forum Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang kemudian menjadi motor penyusunan UU Pers baru. Setelah melalui rangkaian diskusi dan lobi panjang, akhirnya disahkan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers 1999) pada 23 September 1999.
Dalam UU Pers 1999, Bab V Pasal 15, disebutkan tentang perlunya dibentuk Dewan Pers yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan pers. Selanjutnya Dewan Pers (lama) memfasilitasi proses pembentukan Dewan Pers Baru yang beranggotakan wakil-wakil wartawan, perusahaan pers dan tokoh masyarakat. Proses pembentukan Dewan Pers baru cukup rumit, khususnya dalam menentukan perwakilan dari wartawan, mengingat besarnya jumlah organisasi wartawan. Terdapat 121 nama calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh 33 organisasi wartawan dan tujuh organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22 Februari 2000 Badan Pekerja memutuskan sembilan nama sebagai pengurus Dewan Pers periode 2000-2003.
Pers dalam Ancaman Massa
Pers Indonesia memasuki fase baru, setelah sekian lama terpuruk dalam cengkeraman kontrol kekuasaan Soeharto, kini cengkeraman itu berwujud melalui ancaman publik. Tekanan dan ancaman di era Soeharto sangat efektif meskipun tidak langsung (remote) sedangkan ancaman massa bersifat fisik, sehingga lebih nyata. Pemakaian sarana koersif untuk menekan dan mengancam pers melalui pencabutan SIUPP meskipun lebih fatal, tetap terasa bukan ancaman nyata, sementara ancaman kekerasan dan teror massa jauh lebih konkrit dampaknya.
Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengekplorasi kebebasan. Dampak yang kemudian terlihat, kebebasan itu untuk sebagian media, bukannya diekplorasi melainkan dieksploitasi. Sejumlah kebingungan dan kejengkelan terhadap kebebasan pers di era reformasi ini bisa dipahami. Kini media bebas untuk mengumbar sensasi, informasi yang diedarkan adalah yang bernilai jual tinggi, dikemas dengan gaya sensasi. Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindak pers, maka “publik” kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolok ukur mereka sendiri.
Era reformasi kini telah memproduksi media massa berorientasi populis, mengangkat soal-soal yang digunjingkan masyarakat. Akibatnya seringkali media massa menyebarkan informasi yang sebenarnya berkualifikasi isu, rumor bahkan dugaan-dugaan (hingga cacian dan hujatan). Pada ekstrim yang lain terdapat pula pers yang diterbitkan untuk tujuan politis: mempengaruhi dan membujuk pembacanya agar sepakat dan ikut dengan ideologi dan tujuan politisnya, atau bahkan menyerang dan membungkam pihak lawan.
Media massa sebagai penyalur informasi mengemas apapun yang bias diinformasikan, asalkan itu menyenangkan dan sedang menjadi gunjingan publik. Gaya media semacam ini kemudian mendapat reaksi sepadan dari kelompok masyarakat tertentu yang cenderung radikal dan tertutup, atau kelompok-kelompok yang mengklaim kebenaran sebagai milik mereka. Jika pemberitaan media tidak menyenangkan pihaknya atau kelompoknya, maka jalan pintasnya adalah melabrak dan mengancam—yang ternyata memang terbukti sangat efektif.Kasus pendudukan Jawa Pos (6 Mei 2000) menunjukkan, betapa pers tidak berdaya manakala gerombolan orang (massa Banser NU) memaksakan pendapatnya terhadap koran tersebut. Jawa Pos bertekuk lutut dan tergopoh meminta maaf, menyatakan pemberitaannya salah. Tidak ada pengujian secara adil dan logis menyangkut kesalahan atau ketidaksalahan Jawa Pos terhadap berita menyangkut Presiden Abdurrahman Wahid atau NU.
Kisah lain menimpa SCTV, stasiun TV swasta itu harus menghentikan penayangan opera sabun yang sangat populer, Esmeralda, setelah 60 orang dari Front Pembela Islam (FPI) berunjukrasa ke SCTV (4 Mei). Telenovela itu dianggap secara sengaja menghina Islam, memberikan gambaran palsu dan menyesatkan kepada penontonnya, karena salah satu tokoh dalam film tersebut bernama Fatimah. Di kalangan Islam, Fatimah dikenal sebagai nama putri Nabi Muhammad SAW dan figur yang dihormati, sementara Fatimah dalam Esmeralda merupakan antagonis yang berperangai buruk. Tawaran SCTV untuk mengganti nama tokoh Fatimah ditolak FPI, vonis telah diputus: Esmeralda yang digemari banyak penonton itu tidak boleh disiarkan.
Sebelumnya sejumlah wartawan dan media sempat merasa terteror dengan perangai kelompok yang menamakan diri Laskar Jihad. Organisasi ini telah mengancam, melakukan kekerasan terhadap wartawan yang ingin meliput kegiatannya. Selain mengancam secara fisik maupun teror psikologi, lascar yang gemar mengacungkan pedang itu juga diskriminatif terhadap wartawan perempuan dan wartawan non muslim. Tiga wartawan sempat disekap dan dianiaya di lokasi kamp latihan mereka di Desa Kayumanis, Kecamatan Tanah Sareal Bogor (9 April).
Tabloid Semanggi beberapa waktu sebelumnya pernah diancam dibakar oleh Laskar Jihad karena pemasangan foto kelompok ini pada edisi No. 19. Laskar ini merasa tersinggung karena fotonya dimuat dalam pemberitaan mengenai NII. Laskar Jihad menuntut agar tabloid Semanggi meminta maaf dan mengklarifikasi. Ancaman serupa menimpa harian Radar Bogor. Koran ini, pada 9 April, didatangi satu truk anggota Laskar Jihad dengan membawa senjata pedang dan pisau komando. Mereka marah karena Radar Bogor dinilai telah menyebarkan berita yang mengadu domba antara laskar jihad dengan masyarakat Kayumanis (lokasi latihan) dan aparat keamanan setempat. Tekanan massa Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) terhadap Radio PTPN Rasitania, Solo, sempat menghentikan siaran radio tersebut selama 27 jam. Sekitar 300 anggota FPIS protes atas siaran dialog interaktif berjudul “Usaha Mengatasi Konflik Antar Umat Beragama” pada 24 Februari.
Kebebasan pers: Pers Mengatur Sendiri
Kebebasan memunculkan berbagai persoalannya sendiri, yang lebih kompleks ketimbang era tirani kekuasaan.. Kebebasan Pers yang kini berkembang di Indonesia, telah ditanggapi secara negatif oleh sejumlah pihak, karena dianggap telah “bebas terlampau jauh”. .Ekses negatif kebebasan pers saat ini terlihat semakin nyata dengan banyak bermunculannya media partisan, sensasional, termasuk yang menonjolkan erotika. Fenomena lainnya adalah munculnya banyak media yang mengusung asas jurnalisme alakadarnya dan kurang menghargai etika. Banyak pula muncul pemodal melakukan akrobat dalam bisnis pers: menerbitkan media, dua bulan kemudian ditutup lantaran tidak laku, kemudian menerbitkan media baru lainnya.
Seserius apakah akses negatif kebebasan pers saat ini? Memang ada soal ketika menyangkut pemberitaan konflik antar golongan atau etnis (seperti kasus Ambon), sebagian media telah memposisikan diri sebagai corong kelompok tertentu. Ada pula media yang diterbitkan semata-mata sebagai alat menyerang atau membela orang-orang tertentu. Namun justru itu lah resiko demokrasi: munculnya sejumlah pers yang buruk. Sebagaimana bertebaran pula gagasan-gagasan buruk. Tantangan di Indonesia kini adalah, pers yang bermutu dituntut untuk mengarahkan dan memperluas pembacanya, justru agar masyarakat tidak membaca media yang buruk. Agar dalam market place of ideas ide-ide baik menang terhadap gagasan buruk.
Setelah halangan struktural kebebasan pers (regulasi pemerintah) berhasil disingkirkan, maka kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi masyarakat. Opini publik lah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh bebas Tidak bisa dielakkan bakal ada benturan kepentingan dan memunculkan ketidakpuasan satu pihak Ketika kebebasan berpendapat seseorang merugikan pihak lain, maka satu-satunya penyelesaian adalah melalui pengadilan—yang diharapkan bisa mengeluarkan keputusan yang bijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas. Sayangnya, ditengah Kegan rungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini, hukum belum siap mengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan maupun menindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bias bersimaharajalela, dan pers menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kejengkelan akan kebebasan.
Situasi itu merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan saja aparatnya sedang kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belum tersedia secara memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisa
mengatur atau mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat pers saling mengingatkan. Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik pers, dan menempatkan lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi” yang diikuti teguran atau peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, control masyarakat, seperti pendudukan kantor media, akibat tidak puas atas pemberitaan pers bakal akan terus terjadi.
LAPORAN PENGAMATAN
MENGAPA KITA KULIAH JURNALISTIK????
Dalam hidup bermasyarakat, bisakah kita melepaskan diri dari kebutuhan akan berita? Tidak, kita tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan akan informasi, berita. Kita membutuhkan infomasi agar kita tahu peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita dan dunia. Kita membutuhkan berita yang terpercaya dan terbaik agar kita mampu menentukan sikap dan tindakan kita. Lebih dari keuntungan-keuntungan itu semua, kita akan belajar tentang tanggung jawab moral untuk menyajikan kebenaran dan membela kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Tanggung jawab moral yang kita emban itu merupakan suatu kebanggaan. Kebanggaan karena hanya sedikit pekerjaan yang memiliki tanggung jawab untuk loyal kepada masyarakat. Loyal dengan terus menerus menyajikan informasi akurat dan terpercaya kepada warga masyarakat agar dengan informasi tersebut mereka dapat membangun sebuah masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Dalam hidup bermasyarakat, bisakah kita melepaskan diri dari kebutuhan akan berita? Tidak, kita tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan akan informasi, berita. Kita membutuhkan infomasi agar kita tahu peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita dan dunia. Kita membutuhkan berita yang terpercaya dan terbaik agar kita mampu menentukan sikap dan tindakan kita. Lebih dari keuntungan-keuntungan itu semua, kita akan belajar tentang tanggung jawab moral untuk menyajikan kebenaran dan membela kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Tanggung jawab moral yang kita emban itu merupakan suatu kebanggaan. Kebanggaan karena hanya sedikit pekerjaan yang memiliki tanggung jawab untuk loyal kepada masyarakat. Loyal dengan terus menerus menyajikan informasi akurat dan terpercaya kepada warga masyarakat agar dengan informasi tersebut mereka dapat membangun sebuah masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
URGENSITAS MATA
KULIAH JURNALISTIK
DALAM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Melalui
pendidikan jurnalistik inilah diharapkan mampu meningkatkan kualifikasi serta
kompetensi para guru agama khususnya untuk mengajarkan pendidikan Agama Islam
di sekolah negeri maupun swasta. Bahkan sekolah yang berada dibawah naungan
Kementerian Agama (Kemenag) maupun yang berada dibawah binaan Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Karena setiap guru dipersiapkan untuk bisa
memberikan konsep jurnal melalui mading dan jurnal pendidikan untuk meningkatkan kompetensi atau kemampuan
dan jenjang pendidikan serta meningkatkan mutunya (kualifikasi). Sehingga
pengembangan program pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas SDM secara menyuluruh.
Kompetensi seorang guru dalam bidang jurnalistik sangat diperlukan sehingga
dapat mengantarkan para siswa memiliki sifat kritis terhadap hal- hal yang
dapat dijadikan berita nantinya.
PENGERTIAN PERS DAN JURNALISTIK
Pers
sebagai pelapor, bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan
peristiwa-peristiwa di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan
tanpa prasangka. Selain itu, pers juga harus berperan sebagai
interpreter, wakil publik, peran jaga, dan pembuat kebijaksanaan serta
advokasi.Jurnalistik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: “segala sesuatu yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran.” (2001:482). Sementara, jurnalisme dijelaskan sebagai “Pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita dalam surat kabar dan sebagainya.” (2001: 482). Menurut Dja’far H. Assegaff dalam buku “Jurnalistik Masa Kini Pengantar ke Praktek Kewartawana”, masyarakat sering menyamakan jurnalistik dengan pers, dan terkadang lebih mudah dengan menyamakan jurnalistik sebagai surat kabar atau majalah. Hal ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa media massa yang pertama ialah “media tercetak”. Namun mulai abad keduapuluh penemuan alat-alat elektronik seperti radio, film, dan televisi juga dimanfaatkan untuk kegiatan jurnalistik.
SEJARAH PERS
Dari zaman Hindia Belanda Hingga Zaman RevolusiOrang tidak dapat membajangkan lagi sekarang, bagaimana sekiranja hidup kita ini, bilamana tidak ada surat kabar. (Parada Harahap “Kedudukan Pers Di Masjarakat” 1951).
Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di Indonesia, bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah koran dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah koran bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Koran yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan koran dan surat kabar di Batavia.
Walaupun demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa disamping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai keperluan.
Dengan kata lain media masa dimasa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini.
Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di Indonesia.
R. M. Tirtoadisuryo pelopor kebebasan pers
Sampai akhir abad ke-19, koran yang terbit di Batavia hanya memakai bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar dimasa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya boleh dikata kurang seru dan “kering”. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal.
Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masjarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.
Kritik semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.
Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung “curhat atau aspirasi” tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang membahas soal politik mulai marak.
Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan
Pers kaum pribumi
Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.
Hadirnya Medan Prijaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
Pers pasca kemerdekaan
Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, termasuk pers. Yang direbut terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di perusahaan koran milik Jepang, yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar Baroe (Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 2605 (tahun Jepang) koran-koran tersebut telah terbit dengan mengutamakan berita sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu telah dimuat secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti "Maklumat Kepada Seluruh Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia Sudah Berdiri", "Pernyataan Indonesia Merdeka", "Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu "Indonesia Raya".
Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Dimasa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan tugasnya. Dalam masa klas pertama tahun 1947, pers Indonesia terbagi dua. Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan kedua telah mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah musuh, yang selalu dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda, golongan pertama tetap menerbitkan koran yang berhaluan Republikein. Yang terkenal di masa itu antara lain Merdeka, Waspada, dan Mimbar Umum. Demikian pula yang bergerilya ke pedalaman, dengan peralatan dan bahan seadanya, koran mereka senantiasa menjaga agar jiwa revolusi tetap menyala. Di masa itu telah beredar koran kaum gerilya, yakni Suara Rakjat, Api Rakjat, Patriot, Penghela Rakjat, dan Menara. Koran-koran ini dicetak di atas kertas merang atau stensil dengan perwajahan yang sangat sederhana.
Pemberedelan pertama
Kondisi pers kita sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding dimasa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran, karena beritanya selalu untuk kepentingan penguasa. Sedang pada masa kemerdekaan, koran apa saja selalu menjadi rebutan masyarakat. Sehari setelah beberapa koran mengabarkan berita tentang pembacaan teks proklamasi, maka hari-hari berikutnya masyarakat mulai memburunya. Mereka tampaknya tidak mau ketinggalan mengikuti berita perkembangan negaranya yang baru merdeka itu. Minat baca semakin meningkat dan orang mulai sadar akan kebutuhannya terhadap media massa. Suasana seperti ini tentunya berdampak positif bagi para pengelola media masa di masa itu. Usaha penerbitan koran pun mulai marak kembali, yang konon diramaikan oleh irama gemercaknya suara alat cetak intertype atau mesin roneo. Sementara itu para kuli tinta yang sibuk kian kemari memburu berita, semakin banyak jumlahnya. Untuk menertibkan dan mempersatukan mereka, pada tahun 1946 atas inisiatif para wartawan telah dilangsungkan kongres di Solo. Dalam kongres itu telah dibentuk persatuan wartawan dan Mr. Sumanang, ditunjuk sebagai ketuanya.
Tercatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah pers di masa revolusi yakni di tahun yang sama telah didirikan Sari Pers di Jakarta oleh Pak Sastro dan kantor berita Antara dibuka kembali, setelah selama tiga tahun dibekukan Jepang. Kantor Sari Pers setiap hari mencetak ratusan koran stensilan yang memuat berbagai berita penting dari seluruh tanah air.
Dari hari ke hari berita di media massa silih berganti, dari pertempuran dan perundingan, sampai pembangunan serta kabar berita yang penuh suka dan duka. Seperti berita di tahun 1945. Indonesia Merdeka telah disambut gembira, namun dibulan November muncul berita duka, yakni tentara Inggris telah membantai ribuan rakyat dan para pejuang Indonesia serta membumihanguskan kota Surabaya. Di tahun 1946 rakyat Indonesia telah memperingati hari proklamasi dengan sangat meriah sebanyak dua kali, yakni pada tanggal 17 Februari, ketika Indonesia Merdeka baru berumur setengah tahun dan tanggal 17 Agustus. Tahun 1946 ditutup dengan munculnya berita musibah yang memenuhi halaman-halaman koran, yakni pembunuhan 40.000 rakyat Sulsel oleh Gerombolan Westerling pada tanggal 11 Desember. Tindakan kejam ini dilakukan pihak Belanda untuk melancarkan jalan menuju terbentuknya negara boneka Indonesia Timur.
Memasuki tahun 1948 situasi dan kondisi negara RI memang mulai diwarnai oleh suasana perpecahan. Di masa itu semakin terasa ada dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan kanan (Front Nasional) dan golongan ekstrem kiri (komunis) yang disebut FDR (Front Demokrasi Rakyat). Puncak konflik ini ditandai oleh meletusnya pemberontakan Peristiwa Madiun yang didalangi oleh PKI Muso. Peristiwa ini sempat mengguncang pemerintah. Betapa tidak, sementara rakyat kita sedang sibuk menghadapi agresi Belanda, tiba-tiba PKI menusuk dari belakang. Pidato Presiden Soekarno yang berbunyi: "Pilih Soekarno-Hatta atau Muso dengan PKI-nya" sempat menjadi berita utama dalam setiap koran. Di masa penuh konflik inilah untuk pertama kalinya terjadi pemberedelan koran dalam sejarah pers RI. Tercatat beberapa koran dari pihak FDR seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota telah dibreidel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya.
Pers dan pemerintah
Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers. Di masa itu telah disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga beberapa perubahan aturan yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht (UU bikinan Belanda), seperti drukpersreglement tahun 1856, persbreidel ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya. Namun upaya ini pelaksanaannya tertunda karena invasi dari pihak Belanda. Barulah setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan dalam bidang pers dilanjutkan kembali.
Di saat itu telah terjadi peristiwa bersatunya kembali golongan insan pers yang bergerak di kota yang dikuasai Belanda dengan golongan yang bergerak di daerah gerilya. Hubungan itu meliputi soal perundang-undangan, kebijaksanaan pemerintah terhadap kepentingan pers dalam hal aspek sosial ekonomi maupun aspek politisnya.
Dalam UUD pasal 19 contohnya, telah dicantumkan kalimat, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UUD pasal 19 tersebut telah diusulkan dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya tanggal 7 Desember 1949 yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers yang mencakup memberi perlindungan kepada pers nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan perusahaan surat kabar, dan mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan.
Usulan di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai merencanakan segala peraturan mengenai pers dan berupaya sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi demokrasi. Hubungan antara pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara membentuk Panitia Pers pada tanggal 15 Maret 1950, penambahan halaman koran, persediaan kertas dan bahan-bahan yang diperlukan, tanpa ada ikatan apapun yang mengurangi kemerdekaan pers. Untuk meningkatkan nilai dan mutu jurnalistik, maka para wartawan diberi kesempatan untuk memperdalam ilmunya. Dan diupayakan pula agar kedudukan kantor berita Antara lebih terasa sebagai mitra dari para pengelola surat kabar.
Upaya di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers yang tertib dan menguntungkan semua pihak. Jumlah perusahaan koran pun dari tahun ke tahun semakin meningkat. Buktinya dalam kurun waktu empat tahun sesudah 1949, jumlah surat kabar berbahasa Indonesia, Belanda, dan Cina naik, dari 70 menjadi 101 buah. Sekalipun demikian bukan berarti mutu jurnalistiknya ikut meningkat. Untuk itu, Ruslan Abdulgani dalam tulisannya "Pers Nasional dan Funksi Sosialnya" telah menulis sebagai berikut, "Mempertinggi mutu journalistiek pada umumnja harus diartikan mempertinggi kwaliteit apa jang ditulis: hal ini dapat ditjapai bila wartawan berkesempatan tjukup memperlengkapi dirinja dengan pengetahuan tentang keadaan jang hendak ditulis, dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie, ekomomi, psychologie, sedjarah dan ketatanegaraan".
Selanjutnya, pada jaman pendudukan Jepang., untuk wilayah Jawa dan Madura diterapkan Undang-undang No.16 yang memberlakukan sistem lisensi dan sensor preventif. Setiap penerbitan cetak harus memiliki ijin terbit serta melarang penerbitan yang dinilai memusuhi Jepang. Aturan itu masih diperkuat lagi dengan menempatkan shidooin (penasehat) dalam staf redaksi setiap surat kabar. Tugas “penasehat” ini sesungguhnya adalah mengontrol dan menyensor, bahkan adakalanya menulis artikel-artikel dengan memakai nama para anggota redaksi.
Sejumlah aturan yang diterapkan pada era penjajahan itu ternyata tetap dipelihara oleh pemerintahan Republik Indonesia, setelah memproklamasikan kemerdekaan. Misalnya ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie, terus dipakai dan secara formal baru diganti pada 1954. Mengikuti perkembangan politik, pada 14 September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku Penguasa Militer, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956. Pasal 1 peraturan ini menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan serta memiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung kecaman atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itu juga berlaku bagi tulisan dan gambar yang dinilai mengandung perenyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan. Ketentuan yang sangat mirip dengan Haatzaai.
Artikel ini, kemudian dicabut setelah diprotes kalangan pers. Mengikuti penerapan situasi darurat perang (SOB), Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963. Selain Surat Ijin terbit, setelah meletus Peristiwa Gerakan 30 september 1965, berlaku pula Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda). Pers Indonesia saat itu dikepung dengan ketentuan SIT, SIC, serta ada lagi: Surat Ijin Pembagian Kertas (SIPK), kertas tidak akan diberikan kepada media yang dinilai tidak patuh.
Era Orde Baru: Bredel Enggan Berlalu
Aturan yang menindas pers itu terus dilestarikan pada era Soeharto, represi sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru—orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen (dalam Soebagijo I.N, Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977, hal.181)
Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden.
Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, kepada pemimpin nasional (Soeharto).
Kisah pembredelan di era Soeharto terus berlanjut. Era 1980-an meminta korban antara lain: pada 1982 majalah Tempo ditutup untuk sementara waktu, ketika menulis peristiwa kerusuhan kampanye pemilu di Lapangan Banteng. Koran Jurnal Ekuin, dilarang terbit pada Maret 1983 oleh Kopkamtib akibat menyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor minyak Indonesia yang merupakan informasi off the record. Korban berikutnya adalah majalah Expo (Januari 1984) setelah memuat serial tulisan mengenai Seratus Milyader Indonesia. Tulisan tersebut dinilai telah “melakukan penyimpangan terhadap ketentuan perundangan yang mengatur manajemen penerbitan pers”.
Dua bulan kemudian giliran majalah Topik akibat menulis editorial Mencari Golongan Miskin (Topik, 14 Februari 1984) dan menurunkan wawancara imajiner dengan Presiden Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertama dinilai “cenderung beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentang kelas”, sedangkan tulisan kedua dianggap “bernada sinis, insinuatif dan tidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab.” Bulan Mei 1984, majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkan tulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial.
Berikutnya, pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit Deretan pembredelanitu terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalah Senang, hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor dan Detik.
Pers Pancasila: Produk Asli Indonesia
Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers). Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an.
Rumusan tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.
Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bias terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya.
Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut—secara sinis—sebagai “budaya telepon”. Peringatan melalui telepon ini bias dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh pers.
Pers dan wartawan yang tidak bebas, ikut mengajarkan rasa takut terhadap kebebasan pada masyarakat. Atau setidaknya mereka bersikap masa bodoh, sejauh keuntungan ekonomi masih diperoleh. Di era rezim Soeharto, sejak pertengahan 1980-an, pers Indonesia mulai mencicipi buah keuntungan era pers industri. Dalam pers industri, bisnis informasi ternyata menjanjikan keuntungan besar, dan tingkat kesejahteraan wartawan menjadi semakin baik. Namun keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin menumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan. Akibatnya yang menjadi prioritas pers Indonesia—didukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah perolehan keuntungan, bukan kualitas berita.
Konsentrasi untuk mendapat keuntungan besar dan kesejahteraan materi dari bisnis pers menjadi semacam eskapisme bagi wartawan. Karena dalam situasi represif, sulit bagi wartawan untuk bisa mengeksplorasi kemampuan jurnalistiknya. Apalagi dengan adanya “hantu” pencabutan lisensi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Izin SIUPP benar-benar seperti nyawa bagi pers, dan pemerintah adalah malaikat yang siap mencabut nyawa itu setiap waktu. Pencabutan SIUPP menjadi momok yang menakutkan bagi pers.
Terlebih-lebih saat itu sangat sulit untuk memperoleh SIUPP. Kriteria untuk mendapat SIUPP tidak jelas, dan menjadi rahasia umum, kalangan yang dekat dengan kekuasaan saja lah yang bisa mendapat SIUPP baru. Sehingga muncul dugaan SIUPP sengaja dijadikan alat untuk menyeleksi kepemilikan pers. Selain itu, ketika pemerintah (Departemen Penerangan), pada akhir 1980an, memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan SIUPP baru, selembar kertas perizinan itu nilainya menjadi amat mahal untuk diperjualbelikan. Melalui sistem lisensi ini lah negara (pemerintah) menguasai “ruang publik”, bukan saja media massa harus mendapat ijin agar terbit, rapat-rapat dan pertemuan publik (lebih dari lima orang) juga harus mendapat ijin.
Ruang publik tersebut adalah “wilayah” yang bebas dari kontrol negara dan modal. Setiap anggota masyarakat dapat saling berinteraksi, belajar dan berdebat tentang masalah-masalah publik tanpa perlu risau adanya campur tangan penguasa (politik dan ekonomi). Dan media massa merupakan salah satu ruang publik yang paling efektif untuk sarana itu. Namun, di Indonesia, ruang publik (media) telah dikuasai negara, akibatnya dalam praktek jurnalisme di Indonesia, para wartawan lebih menempatkan ucapan pejabat, jenderal dan tokoh bisnis. Selain karena demi keamanan kelanjutan penerbitan, juga berangsur-angsur muncul anggapan bahwa ucapan pejabat pemerintah memberikan legitimasi yang kuat terhadap berita.
Praktek jurnalisme semacam itu (news talking) selain aman juga lebih mudah dilakukan oleh para wartawan—juga menguntungkan bagi perusahaan pers, karena meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan dalam proses peliputan berita. Sebaliknya, praktek news talking memberikan peluang besar bagi para politisi (dan pengamat) untuk memanipulasi berita. Akibat lebih jauh dari praktek jurnalisme ini adalah trend menonjolnya peran hubungan masyarakat (Humas) kantor pemerintah dan perusahaan swasta yang siap menyediakan “segala informasi” untuk membantu kerja wartawan.
Dengan maraknya “jurnalisme humas”, menyebabkan masyarakat semakin sulit memperoleh informasi yang benar tentang berbagai persoalan. Satu penelitian yang diadakan oleh Rizal Mallarangeng pada awal 1990 terhadap dua harian berpengaruh di Indonesia (Kompas dan Suara Karya) memperlihatkan besarnya ketergantungan dua media tersebut terhadap narasumber pejabat pemerintah atau birokrat. Sekitar 89,1 % berita Suara Karya dan 69,1 % berita bersumber dari pernyataan birokrat dan pejabat. Sedangkan menyangkut orientasi pemberitaan, sekitar 86,6% berita Suara Karya dan 78.9% berita di Kompas berisi dukungan terhadap kebijakan pemerintah.
Menentang Tirani: Mencari Alternatif
Pada era Soeharto terdapat tiga faktor utama penghambat kebebasan pers dan arus informasi: adanya sistem perizinan terhadap pers (SIUPP), adanya wadah tunggal organisasi pers dan wartawan, serta praktek intimidasi dan sensor terhadap pers. Faktor-faktor itu lah yang telah berhasil menghambat arus informasi dan memandulkan potensi pers untuk menjadi lembaga kontrol.
Wartawan Indonesia, selama 52 tahun, sejak Republik Indonesia berdiri, cuma mengenal satu organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Organisasi ini setiap kali terperangkap dalam korporatisme negara. Negara mengkooptasi PWI dan menggunakannya sebagai operator untuk merepresi dan mengintimidasi pers. Praktis, wartawan Indonesia tidak memiliki organisasi yang bisa mewakili dalam memperjuangkan hak, melindungi dan meningkatkan profesinya.
Sebaliknya, wartawan justru dikontrol dan dilumpuhkan secara sistematis oleh PWI. Pemerintahan Soeharto telah menciptakan mekanisme kontrol efektif terhadap pers melalui tekanan untuk self cencorship, peringatan, teguran dan pembredelan. Namun kontrol yang paling efektif justru dilakukan oleh orang pers sendiri, melalui Dewan Pers serta PWI. Pengurus dua organisasi ini dengan sadar memfungsikan diri sebagai operator pemerintah dalam menekan pers.
Pada akhirnya tekanan memunculkan perlawanan, pemicunya justru pembredelan tiga media terkemuka Tempo, Detik, dan Editor, pada 21 Juni 1994. Berbeda dari berbagai pembredelan pers yang sering terjadi di Indonesia, penutupan tiga media itu, di luar dugaan, memunculkan reaksi perlawanan masyarakat. Ratusan wartawan bergabung dengan mahasiswa dan aktivis NGO melakukan demonstrasi pada hari-hari setelah pembredelan.
Khusus di kalangan wartawan, reaksi keras ditujukan kepada PWI. Sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang ada, PWI tidak memrotes pembredelan itu, sebaliknya malah “bisa memahami” sikap yang diambil rezim Soeharto. Bukan rahasia lagi, PWI merupakan kepanjangan birokrasi Departemen Penerangan. Sehingga, bukannya membela kepentingan, hak-hak dan aspirasi wartawan, PWI justru menjadi mesin teror bagi wartawan. Kalangan wartawan muda yang tidak puas atas sikap PWI ini pada 7 Agustus 1994 mendeklarasikan terbentuknya AJI sebagai wujud sikap “menolak wadah tunggal wartawan” dan sebagai organisasi alternatif bagi wartawan.
Berdirinya AJI segera mengguncangkan hegemoni PWI, ini terbukti Departemen Penerangan dan PWI dengan sengit mencoba meniadakan kehadiran AJI. PWI memecat 13 anggotanya yang terlibat di AJI serta meminta perusahaan pers tidak mempekerjakan wartawan AJI. Belasan wartawan AJI disingkirkan dari kerja kewartawanan atau diminta mengundurkan diri. Pemimpin redaksi yang dianggap tidak sejalan dengan garis pemerintah serta merta bisa dicabut rekomendasinya dan hilang haknya sebagai pemimpin redaksi. “Pokoknya orang AJI tidak boleh jadi wartawan, mereka boleh kerja di perusahaan pers sebagai tukang sapu,” demikian ancam seorang pengurus PWI ketika mengintimidasi pemimpin redaksi D&R yang diketahui mempekerjakan orang AJI.
Kelahiran AJI memang dipacu oleh pembredelan Juni 1994. Namun embrionya dimulai ketika wartawan muda di sejumlah kota mendirikan forum-forum diskusi wartawan. Mereka adalah Forum Wartawan Independen di Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta, Pers Club di Surabaya, dan Solidaritas Jurnalis Independen di Jakarta. Forum-forum wartawan yang berdiri awal 1990 an ini bersifat cair dan informal, karena untuk mendirikan organisasi formal wartawan di luar PWI, saat itu, hampir mustahil. Forum-forum diskusi wartawan semacam itu menjadi oase bagi kesumpekan wartawan yang menyadari mereka tak memiliki organisasi yang bisa menyuarakan aspirasi mereka.
Kecenderungan Rezim Soeharto mengkooptasi dan cuma mengakui satu organisasi bagi setiap sektor organisasi masyarakat, mulai mendapat perlawanan. Berdirinya organisasi alternatif untuk menolak ketentuan pemerintah juga terjadi sektor lain. Di kalangan buruh, pada 1992, berdiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) sebagai tandingan terhadap Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) milik pemerintah. Untuk menandingi Dharma Wanita, telah muncul sejumlah kelompok NGO perempuan. Di kalangan mahasiswa, dibentuk berbagai “komite”atau “kelompok solidaritas” untuk menandingi organisasi kemahasiswaan yang diakui pemerintah.
Berbagai kelompok alternatif itu menggalang jaringan oposisi. Mencoba tampil di lingkup politik mengambil alih fungsi partai politik dan parlemen yang telah bungkam lembaga eksekutif. AJI membangun jaringan di kalangan wartawan muda di berbagai daerah, juga melakukan training dan pelatihan kepada aktivis pers mahasiswa, serta mengorganisir aksi.
Selain menjadi organisasi alternatif, AJI juga menerbitkan media alternatif tanpa SIUPP, Independen, sebagai sikap menolak politik perizinan. Selain Independen terdapat media yang aktif menyebarkan informasi alternative seperti yang diterbitkan Pijar Indonesia, Kabar dari Pijar, media-media kampus serta bulletin terbitan NGO. Berbagi media tanpa SIUPP itu menjadi alternatif bagi pembaca yang tidak puas dengan isi berita media mainstream. Semula Independen diterbitkan sebagai newsletter bagi anggota AJI, dengan berita mengenai seputar pers. Pada perkembangannya Independen juga menyediakan ruang untuk berita-berita umum, khususnya untuk fakta-fakta yang tidak bisa disiarkan oleh pers mainstream. Independen menampung berita-berita hasil reportase wartawan AJI, yang tidak mungkin dicetak oleh pers mainstream.
Salah satu laporan investigatif Independen yang banyak mendapat reaksi adalah edisi nomor 10, terbit menjelang Hari Pers Nasional, Februari 1995. Dalam edisi itu, Independen mengungkap kepemilikan saham-saham Menteri Penerangan (saat itu) Harmoko dan keluarganya di beberapa media massa. Bagi kalangan pers, kabar Menteri Penerangan Harmoko memiliki saham di berbagai perusahaan pers, sudah banyak diperbincangkan, meskipun bisik-bisik.
Hantaman Krisis: Pers Menggeliat
Pers Indonesia semakin kehilangan nyali pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor. Khususnya periode setelah terjadi huru-hara Peristiwa penyerbuan kantor PDI, 27 Juli 1996 sampai dengan Pemilu 1997. Pers mainstream cuma berharap agar tetap selamat di hadapan kekuasaan yang gampang marah, akibat konfigurasi politik yang bergeser, sambil mengais keuntungan dari peluang pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan.
Pers mainstream yang “mati suri” selama tiga tahun (1994-1997), mulai menggeliat bangun pada awal 1998. Badai krisis moneter yang ikut melanda Indonesia pada akhir 1997 mempengaruhi kinerja pers. Banyak pers yang terancam bangkrut akibat nilai rupiah yang terjun bebas, mengakibatkan ongkos produksi harga kertas dan tinta mengangkasa. Manajemen penerbitan pers menerapkan penghematan total: jumlah halaman koran dikurangi, gaji wartawan dipangkas sampai ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi wartawan.
Dalam kondisi sulit akibat krisis moneter ini Pers Indonesia semakin ditekan. Ramainya aksi demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi, yang kemudian menjadi berita di berbagai media, memicu tuduhan pemerintah bahwa Pers Indonesia tidak proporsional dalam memberikan gambaran sesungguhnya tentang situasi akhir-akhir ini. Intimidasi terhadap pers pada awal 1998 langsung disuarakan oleh Presiden Soeharto.
Bulan Januari 1998, Soeharto menuduh pemberitaan pers sebagai penyebab kepanikan masyarakat yang menyerbu toko dan supermarket untuk memborong bahan kebutuhan pokok (panic buying). Bulan Februari, seusai penandatanganan nota kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF), Soeharto menuduh pers Indonesia telah memanas-manasi situasi berkaitan dengan krisis moneter yang sedang terjadi dan menyebabkan rupiah semakin turun. Pernyataan itu ditegaskan lagi dalam sambutan pidato pertanggungjawaban presiden di depan Sidang Umum MPR, Maret 1998. Berbagai tekanan kepada pers itu tidak berujung pada pembredelan, mengingat pemerintahan Soeharto mulai goyah legitimasinya.
Namun rezim yang mulai sekarat itu masih mencoba menggertak pers dengan kasus sampul Soeharto sebagai “Raja Sekop” di majalah D&R, awal Maret 1998. Menteri Penerangan Hartono bermaksud menuntut D&R ke pengadilan karena melakukan penghinaan terhadap kepala negara, melecehkan konstitusi dan menurunkan martabat bangsa. Namun sebelum pengadilan berlangsung, D&R sudah terlebih dulu divonis. PWI menskorsing pemimpin redaksi D&R selama dua tahun. Kasus D&R ini kemudian mengambang dan tidak ada penyelesaiannya.
Berkah Internet: Pertarungan di Alam Maya
Sejak 1995, Internet memainkan peran penting dalam penyebaran informasi di kalangan aktivis dan pengakses internet. Demam internet di Indonesia dijangkitkan oleh kehadiran Apakabar, mailing-list yang dikelola oleh John McDougall dari Amerika. Melalui Apakabar berbagai pandangan disebarkan, dari yang paling radikal hingga puritan, dari aktivis pro-demokrasi sampai aparat intel-militer. Selain berisi polemik berbagai pendapat dan pandangan, Apakabar juga menyebarkan informasi dari media massa, dalam dan luar negeri, yang berkaitan dengan situasi terbaru di Indonesia.
Sukses Apakabar ini kemudian diikuti munculnya berbagai situs internet dan mailing-list yang dikelola para aktivis di Indonesia. Para wartawan eks-Tempo mengelola Tempo Interaktif, diikuti sejumlah mailing list seperti SiaR, KDPnet, AJInews, X-pos, Demidemokrasi, Indo-News.com, dll. Informasi yang disebarkan melalui internet mampu memuaskan masyarakat yang haus informasi, materi dari internet seringkali di down-load dan difotokopi sehingga bisa dibaca oleh mereka yang tidak memiliki akses ke internet.
Selain itu, sensor yang menjadi kebiasaan rezim Soeharto, dengan mem-black out halaman koran atau majalah asing yang memuat tentang Indonesia, tidak bisa diterapkan di internet. Materi yang paling banyak beredar di internet adalah menyangkut kekayaan Soeharto dan praktek KKN rezim Orde Baru, disamping diskusi tentang demokrasi, hak asasi manusia serta menebarkan gagasan oposisi. Selain itu melalui internet aktivis pro-demokrasi juga saling berbagi informasi serta melakukan koordinasi, seperti menentukan waktu dan tempat aksi unjuk rasa.
Setelah rezim Soeharto tumbang, media on-line yang berorientasi profit semakin tumbuh menjamur, seperti detik.com, mandiri.com, satunet.com, berpolitik.com, astaga.com. disamping itu sebagian besar media mainstream, seperti Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Forum, dll., juga memiliki versi on-line.
Pers pasca jatuhnya Soeharto
Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis ekonomi dan karena arus informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintahannya mengalir tanpa bisa dibendung-- melalui media alternatif dan internet. Selain itu, pers juga tidak lagi mau dibungkam. Saat-saat terakhir menjelang keruntuhannya, Presiden Soeharto mencoba mengintimidasi pers, dengan menuduh pers "tidak proporsional dan melakukan disinformasi”. Soeharto marah karena pers selalu menempatkan aksi demonstrasi mahasiswa dan tuntutan reformasi di halaman pertama. Biasanya pers Indonesia akan ciut nyalinya jika Soeharto marah, namun situasi memang sedang berubah.
Perubahan pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis itu berarti peluang terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Penerangan yang baru, Junus Josfiah, segera merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) dan mencabut ketentuan wadah tunggal organisasi wartawan.
Pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang mencabut SIUPP—yang menjadi sangat mudah diperoleh. Lebih dari 1.600 SIUPP baru dikeluarkan periode Mei 1998-Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP akhirnya dicabut, dengan disahkannya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers pada September 1999. Bandingkan dengan era Soeharto yang cuma mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahun kekuasaannya.
Perubahan lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikan organisasi baru di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagai organisasi ilegal, mulai diakui keberadaannya. Diikuti dengan lahirnya berbagai organisai wartawan baru seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), PWI Reformasi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 40. Memang terkesan ada inflasi organisasi wartawan dan penerbitan baru.
Tapi ini gejala wajar, semacam demam kebebasan yang sedang dirayakan masyarakat (sebagaimana munculnya partai-partai politik baru, yang jumlahnya pernah mencapai 108 partai-- dari semula 3 partai). Para wartawan yang lama terkungkung dalam satu wadah organisasi, menemukan momentum untuk mengaktualisasikan diri. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers.
Banyak pengusaha “dadakan” menerbitkan penerbitan pers dengan nama-nama yang aneh atau lucu, yang mengesankan kurang serius, seperti Deru, Dobrak, Pantura, Amien Pos, Mega Pos, Posmo, X-file, Gugat (tabloid ini bermotto: trial by the press) Terbukti kemudian, banyak media yang cuma bertahan satu atau dua bulan, dan berhenti terbit.
Fenomena lain yang muncul, dan sempat memunculkan kekhawatiran kembalinya media partisan, adalah terbitnya sejumlah tabloid yang “berafiliasi” dengan partai politik. Media partai itu antara lain Amanat milik Partai Amanat Nasional (PAN), Duta Masyarakat milik Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Demokrat dikelola oleh Partai Demokrasi-Perjuangan (PDI-P), Abadi milik Partai Bulan Bintang (PBB) dan Siaga yang dianggap corong Partai Golkar.
Berbeda dengan media partisan era demokrasi liberal pada tahun 1950-an, yang murni merupakan alat partai politik, media partisan jaman reformasi kali ini terbit dengan motif utama bisnis ketimbang politik, karena kelompok Jawa Pos Grup (Dahlan Iskan) lah yang mendanai penerbitan empat media parpol itu.
Pers Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di era Presiden Habibie, namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukan tanpa ancaman. Karakter rezim Habibie sulit diprediksi, mengingat sebagian besar pejabat pemerintah adalah “orang-orang Soeharto” juga. Sejumlah contoh menunjukkan rezim baru Habibie berupaya mengontrol pers. Pada bulan Juni 1998, Habibie melontarkan gagasan untuk menerapkan "sistem lisensi" pada wartawan, dan sebulan kemudian dia mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (kedua usulan itu bias digagalkan, berkat gencarnya perlawanan melalui aksi oposisi).
Habibie juga meminta militer menindak keras aksi-aksi demonstrasi masyarakat. Bulan Juli 1998, acara Talk Show di stasiun Indosiar dihentikan secara tiba-tiba, oleh Menteri Sekretaris Negara (saat itu) Akbar Tanjung, ketika acara sedang disiarkan, karena dianggap terlalu lugas dalam mengritik Habibie. Tabloid Detak dan harian Merdeka dituntut oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, karena membongkar keterlibatan Syarwan dalam Peristiwa 27 Juli 1996 (penyerbuan kantor PDI).. Majalah Tajuk dituntut oleh Kodam Jaya atas tulisan tentang keterlibatan militer dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998. Pemberitaan media yang gencar menyangkut penyadapan percakapan telepon antara Presiden Habibie dengan Jaksa Agung Andi M. Ghalib, telah menyebabkan beberapa pemimpin redaksi diperiksa oleh kepolisian.
Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu.
Dengan kemudahan memperoleh ijin menerbitkan media, berakibat muncul konflik manajemen di sejumlah media. Misalnya, sebagian awak majalah Gatra hengkang mendirikan Gamma (Desember 1998), aksi serupa juga terjadi di harian Suara Pembaruan dengan terbitnya Suara Bangsa. Koran tertua Merdeka yang sebagian sahamnya diambil oleh oleh Jawa Pos Grup, ternyata menjadi bumerang, manajemen milik Dahlan Iskan itu kemudian menerbitkan Rakyat Merdeka setelah muncul ketidaksepahaman dalama manajerial.
Era kebebasan pers juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme, banyak tabloid baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderung pornografis). Sejumlah pemimpin redaksi tabloid erotis sempat di seret ke pengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi majalah Matra, Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif misalnya dipraktekkan oleh tabloid Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itu pada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan “persaingan” mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, dan mantan Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu semata-mata bersandar pada rumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan konfirmasi atau wawancara kepada tiga figur tersebut.
Kebebasan pers Indonesia, kemudian, banyak dikecam sebagai “kelewat batas” dan chaotic. Keprihatinan terhadap rendahnya penghargaan pada etika pers, khususnya untuk tabloid-tabloid baru, ramai disuarakan. Sebagai reaksi atas kondisi pers yang terkesan liar dan tak terkontrol itu bermunculan lembaga-lembaga yang menerbitkan jurnal pengawas media (media watch). Pada saat yang sama pers Indonesia memang tidak memiliki lembaga yang mampu mengawasi etika pers. Dewan Pers (bentukan pemerintah), yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengontrol, tidak bisa berfungsi, karena kehilangan legitimasinya. Untuk merespon suara kecaman terhadap pers itu, Dewan Pers bersama sejumlah organisasi wartawan berupaya merumuskan kode etik bersama—yang menjadi patokan untuk seluruh organisasi wartawan. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui proses perdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatangani oleh wakil dari 26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999.
Sementara itu, masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnya reformasi mulai menggagas untuk menyusun Undang-undang Pers baru guna membentengi kemerdekaan pers yang diperoleh. Sejumlah aktivis, pakar komunikasi, wartawan dan pengurus organisasi pers, pada akhir 1998 membentuk forum Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang kemudian menjadi motor penyusunan UU Pers baru. Setelah melalui rangkaian diskusi dan lobi panjang, akhirnya disahkan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers 1999) pada 23 September 1999.
Dalam UU Pers 1999, Bab V Pasal 15, disebutkan tentang perlunya dibentuk Dewan Pers yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan pers. Selanjutnya Dewan Pers (lama) memfasilitasi proses pembentukan Dewan Pers Baru yang beranggotakan wakil-wakil wartawan, perusahaan pers dan tokoh masyarakat. Proses pembentukan Dewan Pers baru cukup rumit, khususnya dalam menentukan perwakilan dari wartawan, mengingat besarnya jumlah organisasi wartawan. Terdapat 121 nama calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh 33 organisasi wartawan dan tujuh organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22 Februari 2000 Badan Pekerja memutuskan sembilan nama sebagai pengurus Dewan Pers periode 2000-2003.
Pers dalam Ancaman Massa
Pers Indonesia memasuki fase baru, setelah sekian lama terpuruk dalam cengkeraman kontrol kekuasaan Soeharto, kini cengkeraman itu berwujud melalui ancaman publik. Tekanan dan ancaman di era Soeharto sangat efektif meskipun tidak langsung (remote) sedangkan ancaman massa bersifat fisik, sehingga lebih nyata. Pemakaian sarana koersif untuk menekan dan mengancam pers melalui pencabutan SIUPP meskipun lebih fatal, tetap terasa bukan ancaman nyata, sementara ancaman kekerasan dan teror massa jauh lebih konkrit dampaknya.
Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengekplorasi kebebasan. Dampak yang kemudian terlihat, kebebasan itu untuk sebagian media, bukannya diekplorasi melainkan dieksploitasi. Sejumlah kebingungan dan kejengkelan terhadap kebebasan pers di era reformasi ini bisa dipahami. Kini media bebas untuk mengumbar sensasi, informasi yang diedarkan adalah yang bernilai jual tinggi, dikemas dengan gaya sensasi. Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindak pers, maka “publik” kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolok ukur mereka sendiri.
Era reformasi kini telah memproduksi media massa berorientasi populis, mengangkat soal-soal yang digunjingkan masyarakat. Akibatnya seringkali media massa menyebarkan informasi yang sebenarnya berkualifikasi isu, rumor bahkan dugaan-dugaan (hingga cacian dan hujatan). Pada ekstrim yang lain terdapat pula pers yang diterbitkan untuk tujuan politis: mempengaruhi dan membujuk pembacanya agar sepakat dan ikut dengan ideologi dan tujuan politisnya, atau bahkan menyerang dan membungkam pihak lawan.
Media massa sebagai penyalur informasi mengemas apapun yang bias diinformasikan, asalkan itu menyenangkan dan sedang menjadi gunjingan publik. Gaya media semacam ini kemudian mendapat reaksi sepadan dari kelompok masyarakat tertentu yang cenderung radikal dan tertutup, atau kelompok-kelompok yang mengklaim kebenaran sebagai milik mereka. Jika pemberitaan media tidak menyenangkan pihaknya atau kelompoknya, maka jalan pintasnya adalah melabrak dan mengancam—yang ternyata memang terbukti sangat efektif.Kasus pendudukan Jawa Pos (6 Mei 2000) menunjukkan, betapa pers tidak berdaya manakala gerombolan orang (massa Banser NU) memaksakan pendapatnya terhadap koran tersebut. Jawa Pos bertekuk lutut dan tergopoh meminta maaf, menyatakan pemberitaannya salah. Tidak ada pengujian secara adil dan logis menyangkut kesalahan atau ketidaksalahan Jawa Pos terhadap berita menyangkut Presiden Abdurrahman Wahid atau NU.
Kisah lain menimpa SCTV, stasiun TV swasta itu harus menghentikan penayangan opera sabun yang sangat populer, Esmeralda, setelah 60 orang dari Front Pembela Islam (FPI) berunjukrasa ke SCTV (4 Mei). Telenovela itu dianggap secara sengaja menghina Islam, memberikan gambaran palsu dan menyesatkan kepada penontonnya, karena salah satu tokoh dalam film tersebut bernama Fatimah. Di kalangan Islam, Fatimah dikenal sebagai nama putri Nabi Muhammad SAW dan figur yang dihormati, sementara Fatimah dalam Esmeralda merupakan antagonis yang berperangai buruk. Tawaran SCTV untuk mengganti nama tokoh Fatimah ditolak FPI, vonis telah diputus: Esmeralda yang digemari banyak penonton itu tidak boleh disiarkan.
Sebelumnya sejumlah wartawan dan media sempat merasa terteror dengan perangai kelompok yang menamakan diri Laskar Jihad. Organisasi ini telah mengancam, melakukan kekerasan terhadap wartawan yang ingin meliput kegiatannya. Selain mengancam secara fisik maupun teror psikologi, lascar yang gemar mengacungkan pedang itu juga diskriminatif terhadap wartawan perempuan dan wartawan non muslim. Tiga wartawan sempat disekap dan dianiaya di lokasi kamp latihan mereka di Desa Kayumanis, Kecamatan Tanah Sareal Bogor (9 April).
Tabloid Semanggi beberapa waktu sebelumnya pernah diancam dibakar oleh Laskar Jihad karena pemasangan foto kelompok ini pada edisi No. 19. Laskar ini merasa tersinggung karena fotonya dimuat dalam pemberitaan mengenai NII. Laskar Jihad menuntut agar tabloid Semanggi meminta maaf dan mengklarifikasi. Ancaman serupa menimpa harian Radar Bogor. Koran ini, pada 9 April, didatangi satu truk anggota Laskar Jihad dengan membawa senjata pedang dan pisau komando. Mereka marah karena Radar Bogor dinilai telah menyebarkan berita yang mengadu domba antara laskar jihad dengan masyarakat Kayumanis (lokasi latihan) dan aparat keamanan setempat. Tekanan massa Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) terhadap Radio PTPN Rasitania, Solo, sempat menghentikan siaran radio tersebut selama 27 jam. Sekitar 300 anggota FPIS protes atas siaran dialog interaktif berjudul “Usaha Mengatasi Konflik Antar Umat Beragama” pada 24 Februari.
Kebebasan pers: Pers Mengatur Sendiri
Kebebasan memunculkan berbagai persoalannya sendiri, yang lebih kompleks ketimbang era tirani kekuasaan.. Kebebasan Pers yang kini berkembang di Indonesia, telah ditanggapi secara negatif oleh sejumlah pihak, karena dianggap telah “bebas terlampau jauh”. .Ekses negatif kebebasan pers saat ini terlihat semakin nyata dengan banyak bermunculannya media partisan, sensasional, termasuk yang menonjolkan erotika. Fenomena lainnya adalah munculnya banyak media yang mengusung asas jurnalisme alakadarnya dan kurang menghargai etika. Banyak pula muncul pemodal melakukan akrobat dalam bisnis pers: menerbitkan media, dua bulan kemudian ditutup lantaran tidak laku, kemudian menerbitkan media baru lainnya.
Seserius apakah akses negatif kebebasan pers saat ini? Memang ada soal ketika menyangkut pemberitaan konflik antar golongan atau etnis (seperti kasus Ambon), sebagian media telah memposisikan diri sebagai corong kelompok tertentu. Ada pula media yang diterbitkan semata-mata sebagai alat menyerang atau membela orang-orang tertentu. Namun justru itu lah resiko demokrasi: munculnya sejumlah pers yang buruk. Sebagaimana bertebaran pula gagasan-gagasan buruk. Tantangan di Indonesia kini adalah, pers yang bermutu dituntut untuk mengarahkan dan memperluas pembacanya, justru agar masyarakat tidak membaca media yang buruk. Agar dalam market place of ideas ide-ide baik menang terhadap gagasan buruk.
Setelah halangan struktural kebebasan pers (regulasi pemerintah) berhasil disingkirkan, maka kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi masyarakat. Opini publik lah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh bebas Tidak bisa dielakkan bakal ada benturan kepentingan dan memunculkan ketidakpuasan satu pihak Ketika kebebasan berpendapat seseorang merugikan pihak lain, maka satu-satunya penyelesaian adalah melalui pengadilan—yang diharapkan bisa mengeluarkan keputusan yang bijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas. Sayangnya, ditengah Kegan rungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini, hukum belum siap mengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan maupun menindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bias bersimaharajalela, dan pers menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kejengkelan akan kebebasan.
Situasi itu merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan saja aparatnya sedang kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belum tersedia secara memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisa
mengatur atau mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat pers saling mengingatkan. Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik pers, dan menempatkan lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi” yang diikuti teguran atau peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, control masyarakat, seperti pendudukan kantor media, akibat tidak puas atas pemberitaan pers bakal akan terus terjadi.
LAPORAN PENGAMATAN
JURNALISTIK
PENGAMATAN LAPANGAN
a) Memory in Alun- alun Kota Malang
Minggu (20 Nov 2011) alun- alun kota Malang, sore itu terlihat sangat
mendung bahkan tidak berlangsung lama gerimis pun terjadi. Di alun-alun ini
terdapat kandang burung dara, saat gerimis mulai datang burung- burung dara
terbang bersama- sama. Seolah memberikan isyarat bahwasannya hujan akan turun
dan segera memberi tahu kawan- kawannya untuk berteduh. Namun kondisi ini
sangat berbeda ketika kita melihat berbagai macam profesi yang ada di alun- alun
ini. Gerimis dan panas tidak pernah memadamkan semangat mereka untuk mencari
nafkah untuk keluarga.
Sore itu tak tampak suasana
yang ramai seperti yang sebelum- sebelumnya seperti yang pernah terlihat. Dulu,
alun-alun ini hampir dipenuhi para GEPENG baik yang masih anak- anak maupun
yang sudah tua, tetapi sekarang kondisinya
agak sedikit berbeda. Karena tergantikan oleh berbagai macam profesi
yang ada di alun- alun ini. Tampak beberapa mahasiswa kesana kemari untuk
melakukan pengamatan yang ada di alun- alun. Dan gerimis pun tidak meredamkan semangat
mereka untuk mengerjakan laporan pengamatan di lapangan.
b) Radar
Malang
Hari Jum’at
tanggal (9/ 12/ 2011) jam 14.30 WIB. Kami telah sampai di Radar Malang dan kami
beserta rombongan kelas menerima pengarahan dari dosen jurnalistik kami yakni
Bapak Khoirul Anwar untuk diberikan pengarahan tugas UAS dan persiapan melakukan
pengamatan ke Malang Post.
c) Malang
Post
Tanggal (9/ 12/
2011) jam 15.30 WIB. Kami telah sampai ke Malang Post, dan disana kami disambut
sangat santun dari para karyawan dan dewan redaksi. Disana kami mendengarkan
berbagai macam ilmu yang disampaikan oleh Redaktur Senior yakni Husnun N.
Djuraid, beliau memberikan berbagai macam hal mengenai koran yang satu ini
yakni koran “Malang Post”. Koran ini merupakan koran yang terbit di kalangan
Malang Raya yang termasuk dalam (Community
News Paper), Malang Post ini telah didirikan pada tahun 1998 setelah
mendapatkan SIUP dari Departemen Penerangan dengan dikeluarkannya UU. No. 40
tahun 1999 yang didirikan oleh Sebuah Badah Hukum yang pada waktu itu masih
berwewenang setelah dikeluarkannya Otoda
yang memberikan kebutuhan kepada pembaca. Malang Post ini sebagai Behind News
yakni agar berita itu tidak dihabisi oleh televisi saja. Disini kami
mendapatkan berbagai macam ilmu yang terkait dengan jurnalistik. Dengan
berbagai macam penjelasan yang telah di paparkan oleh Bapak Husnun. Beberapa
hal banyak ditanyakan oleh para mahasiswa terkait dengan jurnalistik, mengenai
kinerja para wartawan dan proses mencari berita.
FEACTURES
1)
Siang
ini ada fenomena yang sedikit berbeda dari pertemuan- pertemuan sebelumnya.
Karena perkuliahan kali ini dilaksanakan tidak di kelas, tetapi di depan
rektorat UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Suasana yang begitu ramai tidak
menyulutkan semangat kami untuk mengikuti perkuliahan ini, ditambah lagi
suara-suara kendaraan yang begitu ramai, baik dari kendaraan roda dua maupun
roda empat. Berbeda dengan fenomena yang terlihat di depan rektorat UIN,
terlihat beberapa mobil yang terparkir sangat tidak rapi.
2)
Hari
Rabu tanggal 14 Desember 2011, saya presentasi mata kuliah studi agama-agama
yang membahas tentang aliran kepercayaan dan kebatinan. Kelompok saya memberikan
berbagai penjelasan mengenai masalah ragam kepercayaan yang ada di Indonesia.
Para audien mengajukan pertanyaan kepada para pemateri, hal ini membuktikan
bahwa para audiens ingin mengetahui lebih jauh tentang beragam aliran dan
kepercayaan yang ada di Indonesia.
LAPORAN SITUASI KELAS
TEMAN
Dikalangan mahasiswa ngrumpi adalah hal biasa, namun agak sedikit
berbeda saat ini, ngrumpi yang dilakukan mahasiswa, terutama para
mahasiswi. Mereka seringkali ngerumpi dengan mencoba memasarkan berbagai
macam produk, seperti produk kecantikan dan asesoris. Hal ini sangatlah wajar,
dengan dalih ingin mencoba tidak bergantung pada orangtua dan sedikit
mengimplementasikan mata kuliah yang sedang kami tempuh di semester 7 ini,
matakuliah kewirausahaan.Walaupun secara kasat mata mereka ingin menghilangkan
kebosanan yang kerap melanda ketika skripsi mulai membayangi di depan
mata.
DOSEN
Para dosen yang mengampu berbagai macam mata kuliah semester ini
adalah dosen- dosen yang sangat berkompetensi untuk mengantarkan para
mahasiswanya agar dapat mengaplikasikan nilai- nilai pendidikan dan
kedisiplinan serta konsekuensi dalam berbagai disiplin ilmu. Ada kalanya dosen
yang begitu disiplinnya sampai- sampai mahasiswa terlambat 3 menit disuruh
untuk menutup pintu dari luar. Inilah sedikit contoh yang sering terlihat
ketika para mahasiswa terlambat, harus
menerima konsekuensi untuk tidak dapat mengikuti matakuliah yang sedang berlangsung pada hari
itu. Begitu juga sebaliknya, para dosen
terkadang juga mau menerima konsekuensi itu, jika para dosen itu terlambat. Ada
kalanya kita sebagai mahasiswa yang berkewajiban untuk menuntut hak dan
kewajiban mencoba mentoleransi keterlambatan dosen tersebut, sebagai wujud
tawadhu’ kami terhadap ilmu yang telah disampaikan kepada kami para
mahasiswanya.
LINGKUNGAN BELAJAR
Kenyamanan dalam belajar/ lingkungan yang kondusif sangatlah
membantu konsentrasi kita dalam belajar. Terkadang ketenangan belajar kita
sedikit terganggu ketika diluar kelas terdengar para mahasiswa dan mahasiswi
ramai di teras depan kelas, membuat daya konsentrasi kita sangat terganggu. Dan
kita sering melihat situasi belajar ini tercermin ketika para mahasiswa sedang
menunggu kedatangan dosen, dimana para mahasiswa sering duduk- duduk di depan
teras. Dengan menunggu aba- aba dari
ketua kelas mengambil kunci dengan mengantrikan KTM nya. Untuk menunggu giliran
kelas, sering terjadi antrian yang biasanya dikarenakan pergantian hari dan jam
ruangan, sehingga membuat konsentrasi belajar kita kurang kondusif.
ARTIKEL POPULER
a) Sejarah Pedagang Kaki
Lima (PKL)
Pedagang
kaki lima atau yang sering disebut PKL merupakan sebuah komunitas yang kebanyakan
berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya untuk mengais rezeki
dengan menggelar dagangannya atau gerobaknya di pinggir-pinggir perlintasan
jalan raya. Bila melihat sejarah dari permulaan adanya PKL, PKL atau pedagang
kaki lima sudah ada sejak masa penjajahan Kolonial Belanda.
Pada masa
penjajahan kolonial peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap
jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk Para pedestrian
atau pejalan kaki yang sekarang ini disebut dengan trotoar. Lebar ruas untuk
sarana bagi para pejalan kaki atau trotoar ini adalah lima kaki (satuan panjang
yang umum digunakan di Britania Raya dan Amerika Serikat. 1 kaki adalah sekitar
sepertiga meter atau tepatnya 0,3048 m atau sekitar satu setengah meter).
Selain itu juga pemerintahan pada waktu itu juga menghimbau agar sebelah luar
dari trotoar diberi ruang yang agak lebar atau agak jauh dari pemukiman
penduduk untuk dijadikan taman sebagai penghijauan dan resapan air.
Dengan
adanya tempat atau ruang yang agak lebar itu kemudian para pedagang mulai
banyak menempatkan gerobaknya untuk sekedar beristirahat sambil menunggu adanya
para pembeli yang membeli dagangannya. Seiring perjalanan waktu banyak pedagang
yang memanfaatkan lokasi tersebut sebagai tempat untuk berjualan sehingga
mengundang para pejalan kaki yang kebetulan lewat untuk membeli makanan,
minuman sekaligus beristirahat. Berawal dari situ maka Pemerintahan Kolonial
Belanda menyebut mereka sebagai Pedagang Lima Kaki buah pikiran dari pedagang
yang berjualan di area pinggir perlintasan para pejalan kaki atau trotoar yang
mempunyai lebar Lima Kaki.
Seiring
perjalanan waktu para pedagang lima kaki ini tetap ada hingga sekarang, namun
ironisnya para pedagang ini telah diangggap mengganggu para pengguna jalan
karena para pedagan telah memakan ruas jalan dalam menggelar dagangannya. Namun
bila kita menengok kembali pada masa penjajahan belanda dahulu, antara ruas
jalan raya, trotoar dengan jarak dari pemukiman selalu memberikan ruang yang
agak lebar sebagai taman maupun untuk resapan air. hal ini bisa kita lihat pada
wilayah-wilayah yang masih bertahan dan terawat sejak pemerintahan kolonial
hingga sekarang seperti di daerah Malang terutama di daerah Jalan Besar Ijen,
dan lain sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan sekarang, dimana antara
trotoar dengan pemukiman tidak ada jarak sama sekali, pembuatan taman-taman
yang ada di sisi pinggir jalan terkesan seadanya sehingga tidak mampu untuk
meresap air apa bila hujan. Ini fakta bukan fenomena, ini kenyataan dan bukan
rekaan. Lantas tidak sepenuhnya kesalahan itu teralamatkan pada Pedagang Kaki
Lima (PKL) yang notabone memang dirasakan sangat mengganggu para pengguna
jalan. Sungguh ironis memang, disatu sisi mereka mencari nafkah, satu sisi
mereka juga mengganggu kenyamanan para pengguna jalan. Dalam hal ini pemerintah
harus lebih jeli dalam mengambil tindakan dan juga menegakkan peraturan.
Lapangan pekerjaan yang sulit juga mendukung maraknya Pedagang Kaki Lima (PKL)
yang merupakan alih profesi akibat PHK dan lain sebagainya.
http://mujibsite.wordpress.com/2009/08/14/sejarah-pedagang-kaki-lima-pkl/
b) Kekerasan Dalam Pendidikan
Akhir-akhir ini, ibu pertiwi kembali menangisi kelakukan
tak pantas dari putra-putrinya. Belum selesai penanganan bencana alam
di berbagai wilayah Indonesia, juga belum tuntas permasalahan lumpur
Lapindo di Porong, Sidoarjo, sekarang, giliran dunia pendidikan yang
dilibas bencana. Jika tahun 1966, kaum muda bersatu padu menumbangkan
kekuasaan Orde Lama, begitu juga dengan tahun 1998 ketika meruntuhkan
keangkuhan Orde Baru, maka dalam era reformasi, segelintir kaum muda
malah mencoreng wajah dunia pendidikan Indonesia.
Dimulai dengan berita-berita yang menyiarkan pelecehan
oleh guru terhadap sejumlah muridnya, kemudian dilanjutkan dengan
tawuran dan konflik fisik yang melibatkan mahasiswa di beberapa
perguruan tinggi di Indonesia. Kini, giliran mahasiswa APDN berebut
merampas nyawa orang lain. Tidak puas dengan menganiaya juniornya
hingga tewas, mereka malah lebih berani lagi melakukan penganiayaan
di luar kampus. Akibatnya seorang pemuda harus meregang nyawa. Ironis
memang, karena kasus-kasus itu justru dilakukan oleh mereka yang
dipersiapkan untuk menjadi pemimpin negeri ini dan dilatarbelakangi
oleh alasan yang sepele. Lantas, dari sejumlah kasus tersebut, timbul
pertanyaan ada apa dengan dunia pendidikan Indonesia ?
Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia
pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul
dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu
sebelum kemudian akhirnya meledak. Sebagai contoh, masyarakat yang
pernah mengenyam dunia pendidikan tentu masih ingat benar dengan
istilah MOS (Masa Orientasi Siswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan
Kampus) dengan berbagai nama lainnya. Kedua kegiatan tersebut
senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa dan mahasiswa
baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi
maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun
mahasiswa baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses
belajar mengajar sebagai kegiatan utama. Sayang, dalam pelaksaannya
kedua kegiatan ini justru mengalami penyimpangan tujuan.
MOS dan OSPEK seringkali dijadikan ajang para senior
untuk menunjukkan kekuasaan dan senioritasnya. Dalam kegiatan ini,
tak jarang mereka melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan pada
junior. Hukuman seperti push up, lari keliling lapangan, atau di
jemur di bawah terik matahari merupakan hal yang biasa. Ditambah lagi
dengan bentakan para senior yang kerapkali membuat kecut hati siswa
atau mahasiswa baru. Semua itu dilakukan dengan dalih untuk melatih
kekuatan fisik dan mental. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh,
alasan sebenarnya hanyalah untuk bersenang-senang mengerjai junior
dan balas dendam atas perlakukan senior terdahulu.
Maka, pada masa-masa awal tahun ajaran, tak jarang
terdengar ungkapan "Aku jadi panitia ospek nih, lumayan bise
ngerjekan anak baru, dapat baju kaos gratis agik". Tidak hanya
sampai di situ, para senior juga mempermalukan juniornya dengan
menyuruh membawa dan menggunakan dot bayi, mengikat rambut dengan
pita warna-warni, memakai kaos kaki berlainan warna dan lain
sebagainya. Semua atribut ini pada dasarnya tidak memiliki kaitan
dengan tujuan awal di lakukannya MOS atau OSPEK, melainkan
semata-mata sebagai alat untuk mengerjai junior, agar acara semakin
meriah. Kedua kegiatan ini juga seringkali dirancang tanpa
memperhatikan hal-hal penting yang mendukung aktivitas belajar,
sehingga tidak dapat diandalkan untuk menjadi ‘acara pembuka’
yang baik dalam memulai aktivitas akademis.
Kekerasan dan pelecehan yang terkandung dalam kegiatan
ini akan terus berulang setiap tahun apabila tidak segera dihentikan.
Junior yang sekarang menjadi korban, akan mencari korban lain di
tahun depan, terus dan akhirnya membentuk lingkaran setan yang tiada
habisnya. Sangat patut disayangkan, kegiatan semacam ini justru telah
menjadi tradisi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Tindakan kekerasan dan pelecehan dalam dunia pendidikan,
disadari atau tidak, ibarat menanam bom waktu yang dapat meledak
kapan saja. Generasi muda yang terbiasa dengan kekerasan dan tindakan
pelecehan akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang memandang segala
sesuatu dari sudut pandang kekerasan pula. Maka, bukan hal yang
mustahil kalau mereka akan menerapkan kekerasan dalam perilaku
keseharian, terutama ketika menyelesaikan masalah. Inilah yang
akhir-akhir ini terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tidak
hanya pada kegiatan MOS dan OSPEK, dalam aktivitas belajar mengajar
yang dilakukan oleh guru dan dosenpun harus menjadi perhatian.
c) Presiden SBY, Aristoteles dan Pendidikan Karakter
Di hari pendidikan nasional dan kebangkitan nasional
2011, Presiden SBY meminta seluruh masyarakat mewujudkan pendidikan
karakter. Menurut pemerintah, pendidikan karakter dapat menjadi jalan
keluar bagi terbentuknya bangsa yang unggul, tidak saja dari segi
ilmu dan teknologi, tetapi juga moral dan budi pekerti. Menarik bahwa
Presiden SBY merujuk ke pemikiran Aristoteles tentang human
excellence sebagai paradigma mendesain pendidikan karakter
bangsa (kompas.com, 20/05/2011).
Sah-sah saja mengatakan bahwa pemerintah panik
menghadapi bahaya kehancuran bangsa. Akhlak dan moral bangsa menukik
tajam ketika korupsi merajalela. Dan ketika pemerintah tampak belum
maksimal memberantas korupsi, terorisme bermotifkan ajaran ideologi
radikal-eksklusif dan eksistensi NII hadir mengancam NKRI. Pemerintah
keliru besar kalau pendidikan karakter dipandang sebagai jalan keluar
mengatasi masalah konkret semacam ini. Pertama, belum jelas
benar apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter? Kalau itu sebuah
mata pelajaran baru, pendidikan karakter hanya akan memberatkan
peserta didik dan pendidik. Wajar para pendidik menanyakan cetak biru
pendidikan karakter karena mereka tahu kebijakan ini akan segera
dieksekusi Kementerian Pendidikan begitu diumumkan, apalagi oleh
orang nomor satu RI. Para guru pantas resah karena mereka akan babak
belur di lapangan menafsir sendiri seperti apa pendidikan karakter.
Belajar dari pelaksanaan pendidikan tematik di SD kelas satu sampai
tiga yang filosofinya adalah pendidikan integratif lintas bidang
studi, justru dipraktikkan sebagai pengajaran setiap subjek secara
independen persis ketika tidak tersedianya pemahaman memadai dan
cetak biru. Sementara guru dengan berbagai keterbatasan yang ada dan
minimnya model, tidak bisa berbuat banyak. Hal yang sama
dikhawatirkan terjadi juga pada pendidikan karakter.
Kedua, berpendapat bahwa pendidikan karakter
adalah solusi bagi krisis yang dihadapi bangsa saat bisa menyesatkan.
Tidak pernah ada penelitian ekstensif sejauh mana mata pelajaran
normatif seperti agama mampu membentuk akhlak peserta didik, misalnya
dalam rentang waktu pasca tergusurnya pendidikan Pancasila dari
kurikulum nasional. Terlepas dari kasus pengajaran agama di tempat
tertentu yang menanamkan sikap eksklusif dan radikal kepada para
siswa, memperlakukan pendidikan agama semata-mata sebagai salah satu
mata pelajaran tetap tidak mampu mengubah perilaku. Padahal
penelitian semacam ini mampu mengukur sejauh mana urgensi dan watak
pendidikan normatif. Baru setelah itu kita bisa memutuskan apakah
pendidikan karakter masih dibutuhkan, dan jika dibutuhkan,
rancangannya seperti apa.
Asumsinya sangat sederhana. Korupsi, kolusi, dan
berbagai perilaku tak bermoral baik dilakukan para pejabat publik
maupun warga masyarakat dilakukan oleh mereka yang tahu patokan baik
dan buruk secara moral. Sekurang-kurangnya mereka tahu dari
pendidikan agama. Persoalannya bukan pada apakah seseorang tahu mana
yang baik dan buruk secara moral, tetapi kemauan melaksanakan apa
yang baik. Jika pendidikan agama sendiri mampu menjembatani peralihan
dari pengetahuan akan kebaikan kepada tindakan baik, pendidikan
karakter atau mata pelajaran normatif lainnya tidak terlalu urgen.
Kalau pun kita mengasumsikan bahwa pendidikan karakter dibutuhkan
karena kegagalan pendidikan agama dalam membentuk akhlak dan watak
keimanan, kesalahan yang sama akan terulang persis ketika terjadinya
diskontinuitas antara pengetahuan yang baik dan perilaku baik secara
moral. Sanggupkah pendidikan karakter mengubah pengetahuan mengenai
karakter yang baik (excellence character) kepada tindakan
berkarakter?
Presiden SBY merujuk Aristoteles, semoga itu bukan
sekadar moda berargumentasi. Merujuk ke pemikiran Aristoteles sebagai
paradigma pendidikan karakter artinya menerima watak pendidikan
Aristotelian sebagai pembentukan keutamaan. Ini cukup tepat,
meskipun ahli pendidikan karakter bisa berpendapat sebaliknya.
Pendidikan moral dalam tradisi Aristotelian memang dimaksudkan untuk
membentuk manusia berkeutamaan. Tradisi etika Aristotelian
mengatakan bahwa seseorang memiliki keutamaan jika dia sanggup
mengendalikan diri dari bertindak terlalu ekstrem kiri atau ekstrem
kanan. Keutamaan kemurahan-hati (generosity), misalnya,
diraih seseorang jika dia telah berhasil menghindari perilaku boros
(wastefulness) sebagai ekstrem kanan dan sikap kikir
(stinginess) sebagai ekstrem kiri.
Tentu ini saja tidaklah cukup! Seorang peserta didik
juga dituntut konsisten mempraktikkan kebaikan. Etika keutamaan yang
diusung Aristoteles mengajarkan bahwa manusia memang memiliki
kehendak (will) yang lemah. Karena itu, mengetahui apa yang
baik tidak secara otomatis membuat dia berperilaku baik. Dibutuhkan
kehendak atau kemauan yang kuat untuk mengalihkan pengetahuan akan
yang baik kepada sikap baik. Meskipun tidak mudah, konsistensi
mempraktikkan kebaikan dapat menjadi latihan mencapai pribadi
berkeutamaan.
Impian mulia Presiden SBY tentu harus didukung. Kalau
manusia berkeutamaan (virtues man) menjadi cita-cita manusia
Indonesia yang ingin kita wujudkan, jalan ke arah itu memang masih
jauh sekali. Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu jalan keluar
dengan catatan didahului sebuah perencanaan yang matang. Dan ketika
pendidikan karakter belum menjadi kenyataan, seluruh proses
pendidikan yang sekarang berjalan seharusnya menjadi moda pembentukan
manusia Indonesia yang berkeutamaan. Kalau saja masing-masing kita
bertekad melatih diri bertindak moral, menghindari ekstrem kiri dan
ekstrem kanan secara konsisten, niscaya kita akan menjadi pribadi
berkeutamaan sebagaimana dicita-citakan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar